“Apa..? Jadi, barusan dari km 8 sampai km 10 kamu jalan kaki??”
“Iya, Mas.. habis aku lupa sih ancer-ancer pastinya rumah Pak Dhe. Lagian udah malam banget, jadi hilang konsentrasi… Pas gitu, langsung turun aja dari ojek. Eh, taunya masih 2 kilometer lagi… ha..ha..ha..”
“Dasar kamu ini. Ya udah, masuk aja dulu.. dah sholat Subuh belum?” tanya Mas Afi sepupuku, putranya Pak Dhe Kur.
“Udah.. tadi nginep dulu kok di Mushola di Klabanan.”
“Ok lah,… kalo gitu sekarang kita lanjutin perang kita yang belum selesai kemaren. Aku masih kalah 3-1 nih. Kali ini pasti kamu yang kalah!”
“Enak aja.. jauh-jauh dari Malang masak mo kalah, sekarang kita buktiin aja.. yups!!”
Dua jam selanjutnya pun, berubah setting dari kelelahan jadi indahnya kemenangan untukku. Dan lagi-lagi Mas Afi harus mengakui kekalahannya maen Pro Evolution di tanganku… yes..yes..yes!!
“Afi… makan dulu, sekalian ajak adekmu itu makan. Dah jam berapa ini, kasian tuh belum makan.” teriak Bu Dheku memecah perang di antara kami.
“Ya Bu… bentar, lagi asyik nih.”
Ups, udah dua jam rupanya. Pantas, jari-jariku udah mulai kaku. Perutku pun sepertinya ingin teriak, tapi rupanya suara itu kalah jauh dibanding teriakan kemenanganku main PES, di komputer Mas Afi.
Pun tak lama kemudian Mas Afi minta pamit dulu sambil ngajakin aku ke ruang makan di samping kamarnya.
"He…he..he.. gimana Mas.., masih mau nantang lagi?" sapaku sambil jalan bareng beriringan menuju meja makan.
"Oks dah.. tapi kayaknya gak bisa sekarang, lagian katanya kamu mo jenguk dek Iis di Pondok?"
"Ups, iya bener.. abis maen PES aku jadi lupa mo ngapain ke sini. "
"Ntar, kapan-kapan kita lanjutin lagi.., lain kali pasti aku yang menang."
Serasa di rumah sendiri. Begitu kesanku saat pertama kali masuk ke rumah Pak Dheku ini. Rumah yang sederhana, tak begitu besar. Dengan latar yang cukup untuk parkir dua mobil. Di atas latarnya ada pohon anggur yang sedang berbuah. Melilit bambu yang dibuat untuk sandarannya, sejuk mengayomi latar rumah. Dengan kolam ikan di sisi lainnya, gemericiknya terasa begitu harmoni dalam keserasian angin segar udara pagi di Kaliurang. Begitulah, indah dan harmoni alam Indonesia, sejenak jadi obat, mengurangi ketegangan-ketegangan di kepalaku.
Menyantap sarapan pagi ditemani desir angin pagi yang dingin, bikin aku teringat rumahku di Pekalongan. Kalau di sini terbayang kesejukan dan kedamaian dalam balut alam yang hijau dan sejuk, di rumahku sana di Pekalongan, ada damai dalam tatapan beradu cakrawala di ujung lautnya. Gemerisik ombak yang bersahutan… memecah karang, membentur tembok beton pembatas.
"Mmm… lezzat emang masakan bu Dhe, kalah jauh dibanding masakan mahasiswa, yang cuma ngandalin mi instan dan sambel.. he..he..he.." kataku sambil sibuk memisahkan daging ayam dari tulangnya. Ditemani sayur sop yang kental dan sambal bawang. Termasuk pecel lele yang Bu Dhe paksa aku suruh memakannya juga.
"Ya iyalah… makanya cepet nikah kamu, biar gak cuma bisa masak mi dan ngrebus air… wakakakak" sambung Mas Afi.
"Kok nyambungnya ke sono. Jangan-jangan Mas Afi sendiri yang pengen nikah, hayo…"
"Nikah sih, gampang… ngasih makannya itu lho yang susah."
"Ha…ha..ha.." kita yang masuk kategori jomblo sejati ini pun cuma bisa tertawa.
Sesekali, liukan-liukan lincah aku atraksikan, termasuk putaran throttle alias gas dan rem juga perlu aku kombinasikan di tengah riuhnya jalanan Jogja. Kota ini emang teramat padat dengan sepeda motornya. Maka gak heran, kalau di jalanan protokol, bahkan disediakan jalur khusus mobil agar bisa melaju lancar. Tahu sendiri kan, gimana cara ngebut mahasiswa pake motor…
10 menit beratraksi di jalanan, akhirnya aku tiba di depan pintu gerbang Pondok. Aku larikan Supra X itu ke tempat parkir khusus tamu, tepat di bawah tiang sederhana beratap seng. Segera aku parkir, dan menuju tempat penerimaan tamunya yang berada di dalam kompleks Pondok.
Di sanalah sejenak aku beradu pandang pada seorang berkerudung putih, dengan sorot mata yang bersih. Kakiku sedikit gemetaran waktu jarakku dengan sang santriwati resepsionis itu kian dekat. Aku gak bilang dia itu cantik, atau indah, ataupun manis… hanya saja, jujur kalau aku kagum padanya. Ia pun kemudian tersipu ketika aku makin tak kuasa menahan anganku terbang entah ke mana.
"Mas, cari siapa?" sapaan hangatnya buyarkan lamunanku.
"Eh, uh… iya?" tanyaku balik, digencet rasa nervous sekaligus malu.
"Masnya ini cari siapa?" tanya gadis berkerudung itu lagi. "Kok malah ngelamun?"
"Oh, iya.. ada yang namanya Nor Istiqomah, nggak? Katanya dia sakit. Dia itu adikku." jawabku segera, aku tak ingin lagi berlarut-larut dalam angan yang hampa ini. Takut ntarnya nambah dosa aja.
"Oh iya ada, tapi kayaknya dia nggak sakit kok, Mas…"
"Lho, bener? Kok kemarin katanya aku dikabarin kalau dia lagi sakit, gitu?"
Wah, adikku ini makin aneh aja. Jadi mana yang bener nih? Tanyaku dalam hati.
"Iya, Mas… dia lagi nggak sakit kok. Mas tunggu di sini, ya.. sebentar saya panggilin dia dulu."
"Iya.." jawabku singkat, sambil berulang kali menahan terbukanya pintu itu. Ya, pintu yang akan menumbuhkan rasa rindu. Pintu yang membuat hari-hariku hanya terbayang akan senyumannya. Pintu yang kan membuatku seolah berada di taman surga. Tapi, aku tahu bener bahwa pintu-pintu itu semuanya fana, dan hanya akan membuatku menderita. Bukankah Islam sudah memberi pintu itu jalan selamat yang hakiki lewat menikah? Kenapa juga kita harus mencari jalan selain dari yang diajarkannya?
"Iya Mas, maaf… habis adek lagi kangen sama Mas. Kalo adek gak bohong kayak gini, Mas pasti gak akan dateng, kan? Mas pasti lebih mentingin organisasi, meeting, kumpul panitia, praktikum, tugas dari dosen de-el-el dan sebagainya… ya, kan?" terang adikku memberi alasan, waktu kutanya kenapa ia harus berbohong.
Aku sempet kesal juga sih, masak aku dibohongin ama dia. Dia bilang sakit, eh taunya cuman sakit kangen katanya…
"Nah, makanya.. adek bilang aja kalo adek lagi sakit. Tapi sakitnya sakit kangen, ha..ha..ha.."
"Plusnya lagi.. adek lagi pengen makan gratis ditraktir ama Mas buat makan tempe penyet ini… kalo bukan Mas, siapa lagi?" lanjutnya berkelakar. Kelakar pendek yang membuatku kian sayang padanya.
Malam minggu itu pun lalu jadi saksi, bersama tempe penyet yang kami santap bersama, akan sebuah rasa yang selama ini kami pendam. Rasa yang kubiarkan ia berlalu. Rasa yang sekian jam yang lalu tergilas oleh padatnya aktifitasku di perantauan sana. Rasa yang selama ini tak bisa aku bohongi, bahwa aku merindukan dia.
"Tenang Dek, Mas kan selalu ada untuk Ade… tak peduli jarak dan waktu yang kan memisahkan kita seberapapun jauhnya… " bisik batinku sembari tersenyum melihat tawa lepasnya.
0 comments:
Posting Komentar
Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)