Matahari musim panas di Kairo mulai memincing cahayanya. Siluet merah pun menyebar di antara gedung-gedung apartemen di distrik 10, Nasr City. Sore hari, di antara keramaian klakson mobil, mengumpat keruwetan arus lintas. Bersahut-sahutan.
Di bawah gedung apartemen itu, aku bikin janji ketemuan dengannya. Lantai satu, apartemen nomor dua.
“Emang siapa sih, orangnya?” tanya dia, sambil kembali melepas senyum indahnya.
“Janji ya, ntar Shinta gak akan marah?” balasku mengulur waktu. Tenangkan sedikit beban berat di hati.
“Iya. Emang kenapa harus marah? We…” dan lagi, candanya mengusik hatiku.
“Namanya terlalu indah untuk diucapkan. Aku gak bisa nyebutinnya. Jadi, Shinta baca sendiri aja, ya…” tanganku menjulur, berikan sebuah kotak merah berpita.
“Kok pakai ginian segala?” tanya Shinta lagi. Dahinya berkerut. Heran.
“Iya, udah baca aja. Ada surat kok di dalamnya, yang bakal ngejelasin siapa dia.”
Assalamu’alaikum wr. wb.
Bismillah…
Shinta percaya takdir? Saat ini, aku sedang menggoreskan sejarah di dalamnya.
Sebelumnya aku ucapin banyak terima kasih buat Shinta yang udah mau ngedengerin ocehanku tentang sebuah emosi dan perasaan gundah di hatiku selama ini. Aku bener-bener gak tau musti bilang apa. Tapi, mungkin hanya kata terima kasih yang mampu aku berikan untuk kesediaan Shinta beberapa hari ini.
Mungkin kita tak pernah kenal atau bertemu sebelumnya. Tapi, saat kita bertemu di chatbox Y! Messenger, seolah kamu dan aku adalah dua orang yang telah mengenal satu sama lain, sejak dahulu kala. He..he..he.. terlalu muluk ya? Tapi begitulah. Dan aku percaya, ini bukan sebuah kebetulan, ini adalah takdir. Takdir bagiku untuk mengenalmu.
Karenanya, aku mohon maaf kalau hanya dalam bilangan hari, kemudian aku tumpahkan curhat kepadamu. Sepertinya agak terlalu cepat untuk orang yang baru kenal dalam hitungan hari. Tapi aku percaya, kamu dan aku bisa saling mengerti. Inilah yang kemudian membuatku semakin mau terbuka kepadamu. Bercerita tentang sebuah rasa alami anak Adam dan Hawa. Meski
dengan jujur, aku terpaksa menyembunyikan namanya.
Lalu siapa sih namanya?
Aku telah janji, dan akan aku sebutin namanya kali ini. Aku pernah bilang, bahwa kamu mengenalnya. Aku juga bilang, benar kalau dia bukan cinta pertamaku, tapi ku berharap dia kan jadi cinta terakhirku. Dan aku juga bilang, aku begitu sayang padanya dan amat takut kehilangan dia.
Maka, ketika rasa ini tak terbendung, ku curahkan padamu. Ku berharap kamu mau sampaikan rasa hati ini padanya.
Dia cantik, berparas indah dan tasurrun nazirin . Kebaikan hati tampak dari kejernihan sorot matanya. Ketulusan dan agamanya, membuatku kembali belajar tentang arti Islam. Ada canda tawanya selalu mampu cerahkan gundah pelik di hati. Lalu sifat ‘iffah dari dirinya, membuatku berdiri tenang berada di sisinya.
Aku mohon maaf bila kata-kata tak mampu meluncur langsung dari hatiku. Jantung dan darahku serasa terhenti bila mendengar namanya, jadi bagaimana kan ku ucapkan namanya di depanmu, Shinta? Maka, hanya dalam secarik kertas cinta ini, ku ukir namanya. Tahukah kamu bahwa bidadari dan mimpiku selama ini adalah…
Kamu, Shinta Nara Putri.
“Kok???”
Kepala Shinta mendongak. Menatapku tajam, mencari sebuah kejujuran. Seolah detik waktu berhenti di antara kami. Namun, sebelum meluncur kata lain dari bibir indahnya, aku berkata…
“Maukah kau jadi istriku?”
Entah apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Tapi, saat sebuah senyum tersungging dari bibirnya, aku tak kuasa menahan tegar hatiku. Mataku berkaca-kaca dan batinku bertahmid,
Alhamdulillah…
0 comments:
Posting Komentar
Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)