"Buat apa sih kuliah?"
"Lagi OL nih, tanggung.."
"Kuliah? Mending cari laptop di Shorog..."
Beberapa komentar yang secara tak langsung kita dapati dari sikap kita. Kita tidak menafikan manfaat kuliah dalam hati dan lisan kita. Namun tetap saja, kuliah masih menajadi yang nomor dua. Ia di bawah kepentingan organisasi. Ia di belakang antrian padat jadwal kepentingan pribadi. Pun, ia masih kalah dibanding prioritas jalan bareng temen-temen sendiri.
"Kuliah? Jauh banget men..."
"Hah, capeknya doang, gak tau doktornya ngomong apa..."
"Dingin... ntar siang-an aja..."
Lalu segudang halangan dan rintangan kita jadikan alasan. Berlindung di balik kesulitan dan kerumitan yang mengiringi kita dalam bus 80 coret. Termasuk cuaca dingin yang membuat kita malas untuk bergerak, dan bahkan untuk menyentuh air buat mandi atau wudhu.
Fakta
Berbeda dengan suasana kuliah di Indonesia, nidzam dan suasana lingkungan kuliah di Kairo ini, Azhar khususnya, emang beda. Kuliah di sini tak pernah dituntut untuk selalu hadir di muhadarah. Jalan menuju ke kampus pun relatif sama, 80 coret, yang senantiasa membuat suasana berangkat dan pulang jadi tak enak, bersaing naik bus. Belum lagi bagi mahasiswa baru kayak kita nie, pengantar bahasa muhadoroh dengan bahasa 'amiyah bikin kita ngantuk, termasuk godaan online 24 jam di depan komputer.
So, tak salah bila faktor-faktor di atas membuat kuliah jadi yang nomor dua di kalangan Masisir. Seolah-olah, ke kuliah itu penuh dengan rintangan, kesulitan, dan segala hal yang sia-sia saja bila kita perjuangkan. Hanya menghabiskan waktu buat perjalanannya, merenggut tenaga kita untuk muhadarah yang belum tentu pahamnya, dan akhirnya sia-sia saja.
Kalo begitu, apa benar kuliah jadi tak berarti sama sekali?
Suatu siang penulis berjalan menyusuri trotoar menuju Bawwabah. Lalu dikejutkan oleh suara temen yang memanggil dan bertanya,"Mo kemana? Nggak kuliah?"
"Kuliah?" batinku. Suatu kata yang tak pernah lagi kudengar dari teriakan prioritas di hati. Sebegitu pentingkah?
Yuk, kita renungi bareng-bareng....
Pertama, ke Azhar apa yang kau cari?
Sepertinya kita perlu mengulang kembali pelajaran kepondokmodernan dulu, dengan konteks yang berbeda tentunya. Apa tujuan kita semula sebelum datang ke sini? Berorganisasikah, cari rumah enakkah? makan isy kah? Jalan-jalan ke nil kah? Atau apa?
Dengan mengingat kembali apa yang jadi tujuan kita semula, sudah sepantasnya kita menata kembali hidup kita sekarang. Apa yang jadi prioritas kita saat ini. Sudahkah belajar, membaca muqorror, dan hadir di kuliah jadi yang nomor satu dalam kalender kegiatan kita?
Tak perlu takut akhi… tak mampu memahami pelajaran itu biasa. Jauh dari kampus itu wajar. Godaan malas dan senang-senang itu temen kita sehari-hari. So, ia bukanlah penyakit yang perlu kita takuti dan lantas kita maklumi, tanpa perlu diobati. Ingatlah, bahwa malas, godaan, dan kesulitan adalah tantangan yang wajib kita akui adanya. Kita tak kan pernah bisa lari darinya. Hidup adalah kumpulan kata dari sinonim perjuangan. Hadapilah, dan kau akan tahu jalan keluarnya. Bukankah dalam mahfudzot kita masih hapal, Jarrib wa laahidz takun ‘arifan.
Saya ingat ucapan seorang temen selepas pulang dari kuliah, “Iya, gak paham. Tapi kalau gak paham lantas kita lari darinya, kapan kita akan bisa paham?” Ya, biasakanlah. Karena bahasa adalah skill. Dan skill terasah karena sering dipraktekkan. Masih ingat dulu waktu kita pertama kali membaca bahasa Arab, atau mengendarai motor? Semuanya kelihatan sulit, tapi apa sekarang, ia sudah menjadi hal yang biasa saja buat kita, tul kan?
Yang kedua, ingatlah bahwa kita adalah seorang muslim. Tugas seorang muslim hanyalah ikhlas berusaha lalu tawakkal kepada-Nya. Nah, kalo toh seandainya kita sudah berusaha berangkat ke kuliah lalu masuk muhadarah dan belum juga mampu memahaminya, itu bukan berarti usaha kita akan sia-sia. Ingatlah bahwa sesungguhnya tak ada yang sia-sia dari usaha seorang muslim, bila 3 hal mendasar telah dikerjakannya: 1. Luruskan niat 2. Maksimalkan ikhtiar 3. Tawakkal
Sudah ikhlaskah niat kita ke Mesir ini hanya karena Allah swt.?
Seberapa maksimalkah usaha yang sudah kita lakukan untuk paham?
Dan benarkah kita sudah bertawakkal kepada-Nya?
Apabila ketiganya sudah benar-benar kita laksanakan, secara alami, akan terbentuklah buah yang tak diberikan Allah kepada sembarang orang. Yaitu buah manisnya iman. Sebagaimana yang disabdakan Rasululllah saw, “Alangkah bahagianya seorang mu’min. Bila ditimpa musibah (kesulitan) mereka bersabar, dan dengannya mereka mendapat pahala (bahagia). Sementara bila mereka mendapat kesenangan mereka bersyukur, lalu dengannya pula mereka mendapat pahala (bahagia).” (Hasan)
Allah swt. bahkan berjanji dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal soleh, sesungguhnya kami tak akan menyia-nyiakan usaha orang yang berbuat baik. (QS. Al-Kahfi)
Next, apa lagi yang perlu kita tunggu? Segera letakkan kuliah dan ilmu adalah prioritas nomor satu dalam kalender kegiatan kita…. Dan bahagia itu akan datang bersama kesulitan yang kita hadapi. Ayo kuliah…..!!!
Sesaat sebelum Magrib
0 comments:
Posting Komentar
Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)