Mati, kematian, wafat, gugur, meninggal... adalah kata-kata yang sering kita dengar. Tak hanya sering kita dengar kata-katanya, tapi peristiwanya pun mungkin sering kita lihat. Berbagai media massa baik cetak maupun online pun sering menggunakan kata-kata itu. Menyampaikan fenomena wajar dan peristiwa alamiah ini kepada kita. Baik berita tentang matinya binatang, atau kematian ribuan orang karena bencana alam. Dan khususnya di daerahku di Jawa, biasanya ada pengumuman tentang kematian seseorang. Yang kemudian, para penduduk diminta untuk membacakan surat al-Fatihah bagi si wafat. Atau bahkan dalam kultur NU yang kental, akan diadakan acara Yasinan, atau 40 hari, dan 1000 hari, untuk membacakan beberapa surat al-Quran bagi si mayit.
Sebuah peristiwa yang sangat wajar, dan hal lumrah di sekitar kita. Dan sebagaimana hukum ekonomi berlaku, ketika 'barang' berlimpah di pasaran, maka harganya akan jatuh. Begitupun mati dan kematian. Bahkan saking murahnya, 'memati' adalah salah satu aktifitas manusia yang gratis dan tanpa bayar. Tanpa perlu keluar uang, seseorang akan mati. Dan belum ada ceritanya, seseorang tertunda matinya gara-gara gak punya uang...
Dan karena saking wajarnya inilah kadang membuat kita lupa, bahwa setiap kita mendengar berita tentang kematian, melihat peristiwa matinya seseorang, dan membacakan al-Fatihah untuk orang lain, sesungguhnya kita sedang menghadapi peristiwa yang kita pasti akan menghadapinya. Dan parahnya lagi, tak satupun dari kita tahu, kapan dan di mana kita akan mati. Tak heran bila kemudian Imam Ghazali menyebut, bahwa kematian adalah hal yang terdekat dengan kita. Bukan keluarga, bukan pula harta benda.
Bukankah sesungguhnya, setiap hari berlalu, dan setiap jamnya bergerak, maka semakin lama semakin dekat pula lah kematian kita itu. Semakin lama waktu berjalan, semakin dekat pula kita pada akhir tujuan kita, yaitu mati.
Semua orang pasti akan merasakan mati. Dan meskipun pembaca tulisan ini belum pernah merasakan hal tersebut, namun saya yakin para pembaca percaya bahwa dia akan mati. Adakah yang yakin bahwa dia ga akan mati? Silahkan angkat tangan... :D
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Duduk diam dan menunggu saja kedatangannya atau bagaimana? Di sinilah manusia akan berbeda-beda dalam menjawabnya. Wordlviewnya tentang hidup itulah yang akan membuat perbedaan.
Penulis teringat dengan sebuah ayat dalam surat an-Nisa ayat 78, "
أينما تكون يدرككم الموت ولوكنتم في بروجٍ مشيدة" yang kurang lebih artinya "Di manapun dan bagaimanapun keadaanmu, akan kalian temui kematian, walau kalian berada (bersembunyi) dalam benteng yang sangat kokoh."
Dan menariknya, bila kita telisik lebih dalam lagi, ternyata ayat ini adalah jawaban tambahan bagi orang-orang munafik, tentang pertanyaan mereka mengapa harus diwajibkan berperang. Mereka bilang, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan atas kami berperang? Kenapa enggak Engkau undurkan sebentar perintah itu?" Kemudian Allah pun memerintahkan kepada Rasulullah untuk menjawab "Katakanlah, sesungguhnya kesenangan dunia itu sangat sedikit dan murahan, dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya (dikurangi pahalanya) sedikitpun."
Setelah menjawab keraguan para orang munafik itu, kemudian Allah memberikan sebuah fakta dan realita yang sama sekali tak dapat kita elakkan. Bahwa kematian itu pasti datangnya. Ga peduli kalian ikut perang atau engga, kalau sudah datang waktunya, kalian tetap akan mati.
Setiap dari kita, dituntut untuk merencanakan hal-hal yang akan kita temui di masa depan. Seperti contoh, bagi pasangan baru, ia harus merencanakan di mana meraka akan membangun rumah. Dan bagi seorang pelajar sekolah, harus tahu di kelas mana dia akan mengikuti Ujian Nasional. Atau bagi seorang turis, harus sudah tahu di hotel mana dia akan menginap. Lalu bagi kita, sudahkah kita siap menjawab pertanyaan, "Di mana aku akan mati?"
--------------------------
Salam hangat dari
neilhoja. "Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu."
0 comments:
Posting Komentar
Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)