Sebagian besar dari kita akan menjawab, ya Tuhan itu ada. Kecuali orang-orang atheis, dengan sangat mudah kita mampu memberi bukti akan keberadaan-Nya. Bahkan lebih jauh, para ilmuwan dan saintis kian lama kian memberi lebih banyak bukti tentang the existance of God. Sebut saja, sebagai contoh terkait keteraturan dan keseimbangan alam yang sangat luar biasa ini. Kita tahu benar, bahwa bila saja bumi ini terlambat berputar, atau matahari bergeser satu derajat, atau bila air es tidak lagi mengapung. Bagaimana sebuah sistem di alam ini bisa berjalan begitu teratur dan sangat presisi yang bahkan seorang manusia pun butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk mengungkap teorinya, belum lagi untuk pengerjaannya! Subhanallah..
Oke, dengan begini kita setuju bahwa Tuhan itu ada. Tapi yang ingin saya pertanyakan bukan soal bukti dan validitas pernyataan itu. Tapi lebih jauh soal bukti dari pernyataan kita tersebut. Penulis teringat ketika baru saja kemarin, badan tiba-tiba drop. Apa yang aku pikirkan seketika adalah, apa yang sudah ku makan. Kira-kira apa yang menjadi sebab dari penyakit ini. Dan tahu apa hipotesa pertamaku? Karena makan kepedesan!
Yang jadi pertanyaan, kalau lah benar Tuhan itu exist, ternyata bahkan Dia tidak terpikir dalam kasus tersebut. Lantas, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa God is exist? Berapa banyak kejadian, yang notabene adalah hasil ciptaan-Nya, tapi seringkali – bila tak ingin disebut selalu – kita ingkari? Saat kita makan, yang terpikir adalah rasa yang enak. Pernahkah kita berpikir, ada Tuhan yang exist yang menciptakan rasa itu? Atau ketika kita pulang dengan selamat, pernahkah kita berpikir bahwa bisa saja Tuhan membuat kita pulang hanya tinggal nama?
Menurutku wajar, ketika kita berpikir hanya sebatas apa yang kita rasakan di sekitar kita. Karena dunia yang kita hadapi, adalah dunia materi. Bahkan diri kita pun adalah materi. Akan tetapi, jauh di dalam diri kita, bahwa kita sebetulnya juga makhluk halus. Betapa tidak, kita memiliki jiwa, ruh, emosi, perasaan, dan akal yang sama sekali jauh dari materi. Maka tak heran, ketika kita seringkali merasa bingung bagaimana menggambarkan cinta, yang notabene produk dari emosi, salah satu unsur halus kita. Bagaimana mungkin kita menceritakan manisnya gula kepada telinga? Atau bagaimana mungkin kita gambarkan indahnya warna pada hidung? Kira-kira seperti itulah beda unsur halus dengan unsur materi kita.
Pertentangan antara materi dan ruh ini adalah wajar. Sebagaimana yang disebutkan Allah, adanya pasangan dalam segala hal. Bila ada hal yang berbentuk materi, maka lawannya pun pasti ada. Dan manusia, adalah satu-satunya makhluk yang memiliki dua unsur ini. Materi identik dengan dunia rendah, sementara ruh identik dengan dunia atas. Dua-duanya tidak kita nafikan, tapi kita kelola untuk tujuan yang sama, membuktikan bahwa God is exist. Tidak sekedar tergambar dalam dunia kata, tapi kita nyatakan dalam dua unsur kita, ruh dan materi.