Sore itu, aku ditanya seorang senior salah satu organisasi kekeluargaan di Mesir. Dalam sebuah acara makan bareng, “Ehm.. Sul, gimana tuh kabar ******?” Sontak aku kaget ditanya tentang temen wanitaku tersebut. Aku terdiam sebentar, lalu balik nanya, “Ehm... lha ada apa nih, sama ******?” candaku.
“Lho, bukannya kalian sering jalan bareng? Ya.. aku cuma nanya aja kok, he..”
“Ups,...!!!” teriakku dalam hati. Wah gawat, akhirnya hal yang selama ini aku kuatirin terjadi juga. Ada beberapa orang yang beranggapan lain saat melihatku jalan bareng temen wanitaku itu, meski niatnya buat nganterin pulang. Tapi tetep aja, orang yang ngeliat kan beda-beda anggapannya..
“Gimana tuh, Am...?” tanya temenku setelah sejenak cerita soal dirinya barusan. "Apa menurut nt (kamu) hukum nemenin cewek pulang bareng?"
Sejenak aku berpikir. Kemudian aku jadi ingat dulu waktu pertama kali menginjakkan kakiku di bumi Kinanah ini. Saat aku jalan-jalan, dan emang kalo di Kairo ini segala sesuatu harus jalan kaki, berhubung ndak ada motor, heu..heu... Saat aku jalan-jalan, kadang aku ngeliat seorang cowok yang jalan berdua dengan seorang cewek. Saat itu, timbul pikiran negatifku. Hm.. ternyata, ada juga pacaran di sini, bukannya pacaran itu gak boleh karena mendekati zina? Praktis, kalau jalan bareng berdua itu kan udah khalwat?? Meski di situ banyak orang, toh orang lain gak dianggap keberadaannya bukan? “Dunia cuma milik berdua, yang lain Ngontrak!!” he...
Dan aku pun punya pikiran agar jangan sampai jalan berdua ama siapapun. Termasuk yang cowok? He.. capede, ya gak lah. Karena kupikir, kalau kita jalan berdua aja sama cewek, itu udah masuk khalwat yang gak boleh dalam Islam. Kan bukan muhrim.. (ejaan Indonesia, padahal aslinya sih, mahram. Yang ngerti ilmu Sharaf pasti tau, kalau artinya beda bangett).
Khalwat gak sih??
Dulu aku sempet ngecap, bahwa siapapun dan apapun bentuknya, yang namanya jalan berdua, ya tetep aja jalan berdua. Khalwat tetep khalwat. Bahkan sampai kepada siapapun yang aku temui. Baik itu bener-bener nganterin pulang ato enggak, tetep kuanggap mereka itu udah khalwat. Apa bener niat kita nganterin pulang, bener-bener ‘cuma’ nganterin pulang? Atau ada hal lain? Itulah yang jadi landasanku selama ini.
Hingga suatu pagi, tepatnya pagi tadi sih... he, saat aku nderes surat an-Nur ayat 11. Aku jadi teringat kisah bagaimana siti Aisyah difitnah telah berbuat serong dengan seorang sahabat. Mulanya aku berpikir, “Masya Allah, gimana ya perasaan siti Aisyah kala itu. Seorang istri nabi, pemimpin umat dan para anbiya, difitnah berbuat serong!!” Hancur n tak terbayangkanlah... perasaan bersalah ama Nabi pasti gak ketulungan, meskipun beliau sama sekali gak melakukannya. Tapi bagaimanapun, meski itu adalah fitnah, tetep aja beliau ngerasa bersalah. Ditambah lagi sakitnya difitnah dan gak bisa ngebuktiin fitnah tersebut. Subhanallah...
Sampai kemudian turun ayat an-Nur di atas. Bukti yang langsung didatangkan oleh Ia yang Maha Tahu. Dan orang-orang yang nyebarin fitnah itu pun kemudian dihukum. Sementara beberapa orang mu’min di ayat selanjutnya juga disinggung, kenapa gak mau membela Nabi dan istrinya yang difitnah, tetapi malah ikut menyebarkannya? Tapi memang, berat cobaan iman kala itu. Bayangin sendiri aja, yaw...
Namun selanjutnya, aku mikir, kira-kira apa yang menjadi landasan sahabat tersebut mengantar siti Aisyah pulang? Perlu diketahui, bahwa menurut kitab “Khulasoh nur al-Yaqin” juz 2, diceritakan bahwa ketika itu siti Aisyah bersama Nabi sedang berkemah, suatu hal yang lazim ketika berperang. Siti Aisyah kemudian meminta izin kepada nabi untuk pergi sebentar. Namun, ketika itu setelah siti Aisyah menyelesaikan hajatnya dan akan kembali ke perkemahan, beliau teringat sebuah kalung yang terputus dan berusaha mencarinya. Akan tetapi sayang, saat siti Aisyah kembali ke perkemahan, didapatinya Rasulullah telah pergi bersama rombongan. Sementara rombongan tersebut tidak sadar, bahwa siti Aisyah tidak bersama mereka.
Beruntung saat itu, seorang sahabat (Shafwan bin Mua’thal) menemukan siti Aisyah dalam keadaan tertidur. Siti Aisyah kemudian terbangun, dan tanpa berkata sepatah katapun Shafwan kemudian mempersilahkan siti Aisyah untuk menunggangi untanya, lalu mengantar beliau pulang. Saat pulang itulah, timbul fitnah atau yang dikenal dengan ‘haditsu al-ifki’.
Sementara itu dalam kitab tafsir ibnu Katsir, dijelaskan bahwa sepuluh ayat ini turun sebagai ‘baraat’ atau pembebas atas tuduhan yang dikenakan kepada siti Aisyah oleh orang-orang munafik. Orang pertama yang menyebarkannya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin orang-orang munafik. Hingga orang-orang mu’min kala itu ikut terpengaruh. Perkara ini berlangsung hingga sebulan lamanya, sebelum akhirnya turun sepuluh ayat tersebut sebagai pembebas.
Dalam kitab ini juga disertakan riwayat tentang asal mula siti Aisyah tertinggal dari rombongan. Imam Ahmad berkata, diceritakan kepada kami dari Abdur Razzaq, dari Ma’mar dari Zuhri. Ia (Zuhri) berkata, Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Alqamah bin Waqash dan Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud bercerita kepadaku dari Aisyah ra. dengan cerita seperti yang udah aku ringkas di atas dari kitab ‘khulasoh nur al-yaqin’.
Nah, dari sinilah kemudian aku berpikir, kira-kira apa yang terjadi bila sahabat tersebut tidak mengantar siti Aisyah pulang? Meninggalkan beliau di tengah padang pasir, karena takut timbul fitnah? Dalam cerita tersebut, bahkan tidak dijelaskan keragu-raguan sahabat tersebut. Karena beliau sadar, bagaimana jadinya bila siti Aisyah sendirian di tengah padang pasir. Bagaimana nanti bila bertemu musuh Islam? Gak bisa dibayangin... bukankah, kejahatan itu terjadi bukan saja karena niat, tapi lebih karena ada kesempatan??
Dengan alasan dharurat inilah kemudian sang sahabat mengantar siti Aisyah pulang. Apakah ini disebut khalwat? Tentu bukan khalwat yang dilarang agama, berhubung madharrat yang dihindari jauh lebih besar.
Nah sekarang, bagaimana dengan kita di sini? Bisakah dengan alasan sadd adz-dzarai (mencegah keburukan) dijadikan landasan? Kupikir bisa. Karena kita tahu, bahwa saat ini kondisi wanita yang berjalan pulang sendirian malam-malam udah gak aman lagi. Bahkan di negeri kita sendiri sudah sering kejadian wanita menjadi korban perilaku menyimpang orang-orang kurang iman.
Tapi tentunya, bukan berarti kemudian kita bisa bebas nganterin temen wanita kita pulang berduaan. Kalo bisa lebih dari satu, tentu itu lebih baik. Selain untuk menjaga hati kita agar tidak kesetrum oleh panah si cupid dan pandangan mata setan, juga agar tidak timbul fitnah yang tidak kita inginkan.
Jadi intinya, boleh-boleh aja kita nganterin temen wanita kita pulang berduaan, karena kalo ia ditinggal sendirian lebih berbahaya, asalkan kita tetep inget bahwa yang kita lakuin adalah sebatas sadd adz-dzarai (jagain temen kita dari tangan-tangan usil) dan tidak jalb al-mashalih (ngambil kesempatan dalam kesempitan, :P). Inget, Allah Maha Tahu setiap gerak-gerik hatimu.
So, sebelum nantinya kita jalan berdua nganterin temen wanita kita – inget di sini aku bilang temen lo, bukan ‘temen’ – kita kudu siap-siap. Pertama, benerin dulu niat kita, lalu tata hati ini, dan terakhir doa semoga niatnya bener-bener ikhlas dan senantiasa dijaga Allah, baik dari tangan-tangan jahil penjahat, ataupun dari bisikan-bisikan mesra setan terkutuk.
Wallahu al-muwaffiq ila aqwam ath-thariq...
STOP PRESS!! Alasan utama tulisan ini dibuat adalah sebagai pengingat agar temen penulis lebih bisa menjaga hati ketika nganterin temennya tersebut, dan bukan untuk berfatwa. Karenanya, bila ditemukan sebuah atau banyak kejanggalan, penulis sangat terbuka untuk kritik dan saran.
Wama uridu ill al-islaha ma istatha’tu, wama taufiqiy illa billahi. Alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniibu. (Hud: 88).
Wallahu a’lamu bi ash-showab.
Sabtu, Desember 20, 2008
Hukum Jalan Berduaan, Nganterin Temen
23.05
Mas Niam
13 comments
13 comments:
iqbal faishol: waslm.wah broooo...klo mnrt ane g apa2. slama ada batas2 yang harus dipatuhi.bknnya ane liberal, klo emang niat kt g ada yg lain slain nganter biar safety,insyaAllah g apa2
ahmad budi ahda: kasus siti aisyah mah dalam keadaan terpaksa, namum kalau kasusnya seperti niam sang temen wanita niam bisa dibilang terpaksa juga ... tapi kok keterusan ya?? ha ha ha.... maksudnya keluar malamnya itu lho keterusan, apa gak bisa dilkukan sing hari? ada dua prediksi motif keluarnya temen wanita niam, pertama sang temen bener bener terpaksa dan pekerjaannya tidak bisa dilakukan ketika siang hari, kedua sang wanitanya terlanjur sayang sehingga mencari alasan keluar malam biar bisa dianterin niam terus.......... ha ha ha... peacee.... peaceee...... ala kulli haaall...... yang paling utama adalah frekwensi keluar malam temennya niam ini lho harus dikurangi.... bagaimanapun juga bagi seorang cewek gak baik keluar malam sedirian...
Ah, kenapa pula harus terpaku oleh hukum! Kalau agama itu sebuah kesalehan dan penyerahan total, kenapa pula menyerahkan urusan macam itu kepada logika kering seperti hukum. Toh, selama tidak berzina, dan itu adalah batas yang tegas, tidak masalah bukan.
@ Himawan
mas himawan, makasih atas komennya.. :), selamat datang di rumah kertas ku... heu heu..
memang, agama adalah penyerahan total. dan itu benar juga diakui oleh mas himawan. tapi pertanyaannya, kenapa mas himawan sendiri gak mau berserah total, tapi malah mempertanyakannya?
2. Islam bukan melarang zina saja. tapi bahkan mendekatinya sudah dilarang, mas... coba liat surat al-Isra ayat 32.
"Dan janganlah engkau mendekati zina..."
wallahu a'lamu.
Hhh...
Neilhoja, tidak sedemikian parahnya bukan. Kadangkala kita terlalu terpaku dengan stigma. "Hatihati, kalau jalan berdua, apalagi bila bukan dengan muhrimnya". Seakanakan pertemuan antara lakilaki dan perempuan itu akan selalu berakhir di atas ranjang. Apa benar begitu? Saya sendiri mengalami masamasa di mana kita terpaku erat dengan stigma tadi. Saat baru keluar dari pondok dan perempuan adalah godaan terbesar. Tapi coba lihat sekali lagi, semakin kita berusaha menghindar, malah justru semakin kuat tarikan yang ada. Dan semakin kita menafikkannya, semakin nyata pula bahwa 90% isi otak lakilaki adalah seks. Cobalah untuk sedikit lebih santai, karena itu dapat mengurangi 90% tadi dan menurunkannya bahkan hingga 10% saja.
Mungkin, perkataan saya baru terasa kalau anda sudah bekerja. Pengalaman saya sendiri, seringkali berpergian dengan temanteman wanita sekantor. Kadangkadang menuntut pergi berdua, bahkan harus berbagi kamar hotel. Tapi memang tidak terjadi apaapa di sana. Saya sendiri selalu menghormati privasi mereka. Rasa bertanggung jawab akan apa yang kita lakukan, justru jauh lebih efektif daripada penegasan hukum. Bahkan pernah sekali berpergian dengan perempuan yang sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya. Dan memang tidak ada apaapa. Bahkan memegang tangannya pun juga tidak.
Ah, mungkin kamu akan bilang bawah saya ini tidak menarik di mata wanita. Well, mereka saya anggap sebagai sahabat saya dan merekapun demikian. Ketika kamu memberikan sebuah penegasan, keinginankeinginan kotor mudahmudahan lenyap. Rahasianya, ajaklah berbicara. Berdialoglah, karena dengan demikian kita bakal memahami bahwa mereka adalah juga manusia, bukan objek seksual seperti yang dibayangkan oleh para ahli hukum.
Tentang surat al-Isra ayat 32, saya rasa semuanya kembali kepada pikiran kita sendiri. 'Jangan mendekati zina', itukan jangan sekalisekali berpikiran tentang zina, karena memang awal mula zina itu adalah di otak kita ini. Coba tinjau sekali lagi, apakah adanya hukum pelarangan jalan berdua itu mencegah otak kita berpikir mengenai zina, atau justru sebaliknya?
@ himawan
sebenarnya fenomena jalan berdua itulah yang sedang saya angkat di sini mas... :)
saya juga merasakannya, dan pernah melakukannya, kalau gak mau dibilang agak sering :)
jujur, karenanya kemudian saya dituntut untuk berfikir. apa sebenarnya yang dikehendaki Allah dengan kalimat "wala taqrabu az-zina"?
kalau yang dikehendaki Allah adalah perbuatan tersebut, ini artinya... hanya jalan berduaan dan lain sebagainya yang berbentuk khalwat dilarang. sementara niat untuk berbuat 'qurbah az-zina' berarti tidak dilarang?
ternyata begini mas, kemaren aku baca buku diktat kuliah filsafat. dan aku temukan di situ kalimat yang menarik, "Islam adalah agama iman dan perbuatan."
artinya, Islam bukan hanya agama yang akan mengatakan "jangan dekati zina" tapi juga agama yang akan mengatakan, "jangan pula berniat untuk mendekati zina".. yakni niatnya. Islam menjaga fitrah manusia, keterkaitan perbuatan dan niat.
nah, dalam kasus yang mas himawan angkat di atas, boleh jadi mungkin mas himawan sekilas terlihat berkhalwat... sama seperti yang temen curhat saya bercerita di sini, ----> namun, ternyata dalam dua kasus tersebut tidak ditemukan niat untuk berbuat zina tersebut. bisa dikira2, ini karena iman mereka saat itu lebih kuat daripada dorongan syetan... :) (kasusnya bersifat pengecualian).
akan tetapi jelas mas, Islam sudah melarang khalwat (berduaan dengan yang bukan muhrim), apapun bentuknya. karena apa? mungkin di sini akan saya sebutkan dua alasan (internal dan eskternal); selanjutnya mungkin ada yang bisa menambahkan.
1. fitrah rentannya hati. mungkin mas himawan sudah tahu, kenapa hati dalam bahasa Arab disebut sebagai 'qalb' yang sangat terkait dengan 'qalaba' yang artinya berubah. artinya, hati itu sifatnya tidak tsabit, atau teguh. tapi ia sangat rentan berubah2. sangat mudah kita berikan faktanya, pada pagi hari seseorang beriman nasrani, tapi sorenya ia sudah berucap kalimat syahadat. atau sekarang bilang cinta sama satu wanita, tapi boleh jadi... 5 menit kemudian cinta itu telah berubah karena ternyata sang wanita berkhianat... dan saya yakin, fakta ini tidak dapat kita pungkiri. karena sifat hati yang mudah terbolak-balik inilah Rasulullah mengajarkan sebuah doa "Allahumma tsabbit qalbi ala diinik" ----> ya Allah tetapkanlah hati ini dalam agama-Mu.
so, atas fakta inilah kemudian Islam benar2 menjaga fitrah hati ini. boleh jadi saat itu tiba2 hati mas himawan atau hati temen saya berubah, kan ndak ada yang tau mas... :), karena itulah Islam melarang khalwat, karena ia menjaga betul fitrah hati manusia (umumnya) yang sangat mudah terombang-ambing. bukankah fakta ini (khalwat kemudian berzina) yang saat ini sedang terjadi?? apa ada orang berzina di tengah2 kerumunan orang? (pernah ada kejadian di Barat sana sih, tapi saat itu orangnya lagi fly karena narkotik).
2. memancing timbulnya fitnah. bukankah ini terjadi saat temen senior dalam kisah ini kemudian mempertanyakan hubungan wanita temen saya ini?
inilah indahnya Islam. ia tidak saja menjaga harta, nyawa, keluarga, namun Islam juga sangat memperhatikan harga diri pemeluknya.
agar tidak terjadi fitnah, perkataan, gosip dan tuduhan2 yang bisa membuat nama kita tercemar, maka Islam membuat aturan yang dapat mencegah kita untuk mengotori nama kita ini.
dapat kita bayangkan, bila istri kita *aminnnnnnnnn 99x, tiba2 di jalan melihat kita jalan berduaan dengan seorang wanita, tertawa bersama, bercanda... lalu kemudian melihat kita pula masuk ke sebuah hotel malam itu... kira2 apa yang ada di fikiran istri tersebut pertama kali? saya yakin, mas himawan mampu menjawabnya.
mungkin istri kita (karena ia tahu betul dan dekat dengan kita) sudah mampu memaklumi, tapi bagaimana dengan anak kita, orangtua kita, tetangga kita, masyarakat kita, dsb? tidakkah mereka akan berpikiran negatif terhadap kita?
intinya begini mas. apa yang mas himawan sampaikan di atas, adalah sebuah fenomena khusus. sementara Islam membuat aturan dalam konteks umumnya manusia. karenanya, kemudian tidak dapat dipaksakan, yang khusus merubah yang umum... Namun, tetap biarkan ia berdiri dalam ke-khusus-annya. :)
terakhir, 'Alhaqqu bayyinun, wal bathilu bayyinun. wa ma bainahuma syubhat, wa man waqa'a fi syubuhat waqa'a fi haram...'
yang benar itu jelas, dan yang salah pun sudah jelas. dan apa yang di antara keduanya adalah keraguan. dan barangsiapa yang berada dalam syubhat tersebut, maka ia sesungguhnya telah berada dalam hal yang diharamkan.
---> nah, karena fenomena khusus yang mas himawan dan temen saya tersebut hadapi adalah bainahuma (di satu sisi ia tidak ada niat untuk berzina, dan satu sisi secara dzahir atau perbuatan telah berbuat khalwat) maka ia berada di dalam syubhat. dan karenanya ia dilarang...
bukankah mencegah (terjadinya zina tersebut) lebih baik daripada mengobati (nama baik kita)?
dan sungguh mas, indeeed... penyesalan (akibat efek zina tersebut: keretakan rumah tangga, rusaknya nama baik, dsb.) hanya ada di akhir (saat kita tak kan pernah mudah untuk mengembalikan 'kepercayaan' tersebut).
wallahu a'lamu bishowab..
mantab nie artikel menambah wawasan islam ane yang masih dangkal... salam sehat selalu... wassalam
dalil tentang 'hukumnya jalan berdua-duan' sudah sangat jelas
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata:
Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang lelaki berdua-duaan (khalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya. (Hadis Riwayat Bukhari & Muslim)
Dari Jabir bin Samurah berkata;
Rasulullah SAW bersabda: Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duan dengan seorang wanita, kerana syaitan akan menjadi ketiganya. (Hadis Riwayat Ahmad & Tirmidzi dengan sanad yang sahih)
??!!
@ mas Subagya
sama2 mas... waduh, makasih atas komentarnya... tapi ya, semua ini datangnya dari Rabbi...
hehe, padahal mas sendiri juga seorang ahli komputer ama blogging... jadi pengen belajar banyak nih.. aku add di ym ya, mas?
salam kenal dari Kairo :)
@ mas firda
syukron mas firdaus, dah mo nambahin dalilnya... :)
tapi mungkin, ini karena perbedaan kondisi dan situasi. sebenernya emang udah jelas hukumnya, tapi terkadang ada suatu keadaan yang membuat kita terpaksa tidak bisa menghindarinya... seperti contoh kasus yang saya paparkan di sini :)
yakni, situasi dharurat. gimana menurut mas firdaus? mungkin bisa ditambahkan lagi penjelasannya....
syukron, salam ukhuwah.
kayaknya mia tau siapa yg di antar tuh hihihihihi
Kalau jaman siti Aisyah mah nyanterin temen pulang masuk akal lah buat saya karena itu dalam kondisi benar2x
darurat. Kalau jaman sekarang apalagi buat perempuan yg pekerja pulang minta diantetin sama temen yg lawan jenis. Maaf kalau dia sama2x single nggak masalah broo. Tp kalau dia sama2x sudah punya pasangan hidup itu kayaknya nggak pantes deh, apalagi cuma berduaan apalagi kalau keseringan minta dianterin pulang, wah itu udah nggak pantaslah. Lagian jaman sekarang banyak kendaraan online kok nggak ada alasan susah cari kendaraan atau dengan alasan sekalian jalan dan lewat jd nebeng. Intinya disini pokoknya nggak pantaslah kalau selalu jalan berdua yg bukan muhrimnya.
Posting Komentar
Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)