oleh: KH A Hasyim Muzadi
Bangsa Indonesia tak pernah selesai mengurus berbagai macam persoalan sehingga seperti tak pernah ada rehat untuk jeda. Selama ini kita terpaku dengan berbagai urusan yang berkaitan dengan krisis multidimensi, sehingga meski gaung reformasi sudah sayup-sayup terdengar karena tertelan beragam kepentingan sesaat, kesadaran untuk membuang jauh-jauh kepentingan sesaat ini tak pernah bisa kila lakukan.
Nyaris setiap saat kita melahirkan pemimpin versi kita dengan momentum serta medium yang berbeda-beda. Setelah berbangga diri disebut sebagai salah satu negara berdemokrasi paling besar, ternyata produknya tidak didesain untuk membantu memecah kebuntuan yang sekian lama mendera anak bangsa.
Setiap kali lahir pemimpin baru, maka lahir pula persoalan baru. Setiap pilkada digelar, maka lahirlah pemimpin baru dengan akibat yang menyertainya. Biayanya sangatlah mahal. Bisa biaya politik, biaya ekonomi dan yang paling mengerikan adalah social cost-nya yang tak terduga. Ini baru di tingkat pilkada. Dua ke depan, kita tak mampu lagi memprediksi apa yang bakal terjadi menjelang pemilihan presiden [pilpres]. Maka, pertaruhannya sungguh akan jauh lebih besar lagi.
Bahkan jauh-jauh hari sebelum agenda nasional lima tahunan itu digelar. Beberapa orang yang merasa dirinya pantas memimpin bangsa, dari sekarang mulai berancang-ancang.
Ada yang dengan cara halus tetapi tak sedikit yang tampak mulai vulgar. Untuk menawarkan dirinya kepada rakyat bahwa dia pantas memimpin, beragam cara, taktik, dan strategi disusun. Bahkan tak sedikit yang menggunakan taktik kurang elegan dengan saling serang. Menelanjangi pihak lain, menjelma cara paling ampuh untuk mematut-matut diri sebagai yang terbaik. Yang lebih ironis, para calon pemimpin dan pemimpin yang ada malah saling gunjing. Maka benarlah satir rakyat jelata; mengurus para pemimpin ternyata jauh lebih rumit daripada mengurus rakyat biasa.
Rakyat sudah sekian lama merasa keberatan kalau semua persoalan ditimpakan kepada mereka dengan cap macam-macam. Susah dididiklah, susah diaturlah, sulit dikendalikanlah, terlalu bodohlah, pemalaslah, tidak kompetitiflah, serta aneka sumpah serapah lainnya. Sejujurnya, bangsa ini sudah terlalu lama mengurus para pemimpinnya yang tak pernah merasakan denyut terdalam nurani rakyat. Coba bayangkan!
Berapa kali pilkada digelar dan berapa kali pula angka partisipasi rakyat? Tetapi begitu agenda ini hendak digelar, para kandidat telah mendidik para calon pemilihnya dengan cara-cara yang tidak pantas dilakukan. Pemilihan pemimpin hanya menjadi ajang saling tuding, saling serang, saling nista hingga saling gunjing. Suatu perbuatan yang jangankan oleh agama, melalui standar moral paling rendah pun, tindakan semacam itu tidak dibenarkan.
Belakangan, kegiatan saling serang muncul kembali bahkan di tingkat yang lebih luas. Padahal pilpres masih dua tahun lagi. Merasa dinistakan, yang diserang pun menyerang balik. Lalu muncullah serangkaian aksi saling balas dengan saling menyalahkan dan saling tuding. Padahal rakyat sudah mahfum benar rekam jejak mereka sebenarnya. Ini semua diakibatkan oleh kebiasaan kita terlalu serius belajar berbicara dan melupakan sama sekali kebiasaan mendengarkan. Organisasi berubah menjadi pasar, karena masing-masing hanya ingin berbicara dan tidak siap untuk mendengarkan.
Rumah tangga jadi panas karena semua anggotanya ingin berbicara. Kalau merasa disudutkan, maka pasang aksi dan siap siaga untuk menyerang balik. Maka meluncurlah kata-kata tak pantas di tengah rumah tangga. Pantas saja kalau nurani kita semua tak pernah jernih dan pantas pula kalau kita terbiasa membicarakan hal-hal tak penting. Sepertinya, kita tak pernah jemu berbicara sehingga seakan tugas kita semua sama: Berbicara.
Semua ingin berbicara dan didengarkan padahal semuanya belum siap untuk menjadi pendengar yang baik. Akibatnya, muncul perang kata-kata, saling tuding, saling tuduh, dan saling menyalahkan. Kondisi ini tentu saja amat kurang menguntungkan karena bukan jalan keluar yang didapat tetapi justru persoalan-persoalan baru yang lahir. Bahkan, bisa jadi pertentangan dan pertikaian baru yang muncul.
Sungguh memilukan. Semuanya ingin bicara dan semuanya ingin dibicarakan. Lantas, kapankah kita mencari waktu walau sebentar untuk berdiam diri, merenung, mempertanyakan dalam diri dan menyoal apa sebenarnya yang kita perbuat ini? Sepertinya tak pernah ada waktu untuk menggugat diri sendiri.
Alquran mengajarkan kita dalam sebuah ayat suci, ''Laa yatakallamuuna illaa man adzina lahu r rahmaan wa qaala shawaaba''. Kalau itu dilakukan pemimpin, bi masyii-atillah rakyat akan dengan senang hati mendengarkannya. Rakyat akan mengambil posisi ''yastami'uunal qaula fa yattabi'uuna ahsanah''. Dalam konteks Indonesia masa kini, diam amat penting dilakukan para pemimpin kalau tak mampu lagi berkata-kata baik.
Ibnu Mas'ud berkata, ''Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama-lama lebih dari lidah.'' Bahkan, Mujaddid besar Imam Alghazali mengisyaratkan betapa khawatirnya Gusti Allah atas sepotong daging bernama lidah. Karena besarnya akibat yang ditimbulkan, demikian Al-Ghazali, tak ada tawanan mana pun yang paling ketat penjagaannya kecuali lidah.
Tak cukup hanya dengan dua bibir, Gusti Allah bahkan menambah lagi dengan penjagaan dua deretan gigi yang amat kuat. Itu pun, lidah masih selalu sempat lepas tak terkendali. Seorang sufi lainnya berkata, ''Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah namun dianugerahi dua telinga dan dua mata agar ia mampu mendengar dan mau melihat lebih banyak daripada berbicara.''
Menjadi jelas betapa pentingnya bersikap diam. Terlebih karena bangsa ini benar-benar sedang berada dalam kondisi di mana perkataan tak terlalu penting dibandingkan bekerja. Ironisnya banyak di antara kita yang baru merasa ada kalau berbicara. Kita bermohon agar Allah senantiasa memberikan kemampuan kepada kita dalam menguasai lidah dan membuka mulut untuk berbicara bila benar kata-kata yang akan meluncur menyejukkan semua pendengar dan mendatangkan manfaat. Kalau tidak, maka akibatnya sungguh akan sangat berbahaya. Lidah yang tak terkontrol, bisa membinasakan pemiliknya.
Menurut standar Rasulullah, Muslim yang baik adalah yang membuat Muslim lainnya selamat dari tangannya dan lidahnya. Kalau lidahnya tajam menusuk seperti sembilu, maka lidah semacam ini termasuk yang tidak menyelamatkan Muslim lainnya. Tidak membuat orang jadi tenang. Ia ibarat memiliki sebuah ketepil dan siap melemparkan batu ke segenap penjuru sesuka bisikan di muara angkaranya.
Nah, daripada kita menggunjing orang lain, maka sufi besar Abdullah Ibnu Mubarak mengajarkan kita sesuatu yang lebi bermanfaat. ''Kalau saya dipaksa harus menggunjing, maka pertama-tama yang akan menjadi sasaranku adalah ibunda dan ayahandaku. Beliau berdua jauh lebih berhak untuk menerima amal-amalku,'' katanya ketika ditanya bahaya menggunjing. Apa sebabnya? Menurut sebagian riwayat, seseorang apabila tengah menggunjing, sama artinya dengan sedang melepas helai demi helai amal baiknya.
Setiap kali kita menggunjing seseorang, maka setiap kali itu pula orang yang kita gunjing akan mendapatkan ganti dengan amal-amal baik yang kita lakukan. Pantas saja kalau kita harus menggunjing, maka kedua orangtua kita paling berhak menerima amal-amal baik kita daripada harus diserahkan kepada orang lain. Betapa sarkastisnya Abdullah Ibnu Mubarak menyikapi orang yang suka 'memangsa daging' saudaranya sendiri karena perbuatan menggunjing ini. Kalau tak sudi disebut tengah menggunjing, maka berbicaralah sebaik mungkin dengan etika yang patut dan terpuji agar mendatangkan manfaat.
Wallaahu a'lamu bishshawaab.
Hak Cipta oleh: Republikaonline
0 comments:
Posting Komentar
Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)