oleh: Nailunni’am
disampaikan dalam diskusi dwi mingguan al-Qudwah IKPM Cab. Kairo
17 Nopember 2008
Krisis ekonomi di Amerika belum lama ini kita dengar beritanya. Dan kemudian semakin terasa bagi kita para mahasiswa di Kairo. Betapa tidak, kini nilai tukar mata uang kita Rupiah anjlok bila dibandingkan dengan Pound Egypt dan Dolar Amerika. Dari yang sebelumnya berkisar di angka Rp. 1750 per 1 Le, kini sudah menyentuh angka Rp. 2000 lebih. Dan dampaknya, meskipun harga telur dan bahan lainnya mulai stabil, tetap saja dengan nilai tukar rupiah yang anjlok membuat kiriman jumlah uang jadi lebih sedikit nilainya.
Kekuatan sistem ekonomi kapitalis pun kembali dipertanyakan. Sistem ekonomi yang dalam sejarah disebut Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah ini ternyata tidak sekuat yang diperkirakan. Bahkan tercatat sudah 16 kali terjadi depresi ekonomi terkait dengan sistem yang juga disebut Hidayatullah Muttaqin, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin sebagai sistem self destructive.
Menurut Kadin bahkan dampak krisis ini bisa membuat Indonesia terjatuh ke dalam resesi baru setelah tahun 1998 kemarin. Terjadinya stagflasi dan perekonomian Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh Amerika, bisa membuat Indonesia kembali tak berdaya dan akhirnya terpuruk. Yang paling mudah kita rasakan saat ini adalah nilai tukar mata uang kita yang terus melemah.
Lantas, sejauh mana krisis ini bakal berlanjut dan dampaknya bagi Indonesia? Tidak adakah solusi bagi ekonomi Indonesia untuk bisa lepas dari ketergantungan Amerika, yang disebut-sebut sebagai pangkal permasalahan ekonomi kita? Selanjutnya, bagaimana prospek ekonomi syariah sendiri sebagai sebuah sistem guna perbaikan dan kebangkitan ekonomi kita? Mampukah sistem ekonomi syariah menjadi solusi alternatif keterpurukan bertahun-tahun kita sebagai negara yang selalu ‘berkembang’ – dan tak maju-maju?
Krisis Amerika dan Ekonomi Kapitalis
Krisis Ekonomi Amerika dalam Sejarah
Disebutkan oleh para pakar bahwa krisis Amerika di tahun 2008 ini memang belum separah krisis yang terjadi pada tahun 1929, atau yang masih senantiasa dikenang dengan sebutan Great Depression 1929. Peristiwa tersebut adalah depresi yang paling besar dan dikenang sepanjang sejarah. Terjadi selama 10 tahun sejak 1929 hingga 1939. Pasar saham di seluruh dunia saat itu berjatuhan dan bank-bank di Amerika Serikat mengalami kebangkrutan. Jutaan pengangguran bermunculan dan kemiskinan merajalela.
Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, di Barat memang telah diterapkan kapitalisme klasik/liberal (Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776). Slogan berbahasa Prancis itu Inggrisnya adalah leave us alone. Artinya, biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah. Walhasil, peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Kapitalisme liberal ini terbukti gagal, ketika tahun 1929-1939 terjadi Depresi Besar (Great Depression) di Amerika Serikat akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street tahun 1929. (Adams, 2004).
”The Wall Street Crash” yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1929 merupakan salah satu kehancuran bursa paling dahsyat dalam sejarah pasar modal dunia. Kehancuran itu berawal dari eforia warga AS berinvestasi besar-besaran di pasar saham. Eforia itu menjadi-jadi ketika para pialang meminjamkan dana kepada investor untuk membeli saham, atau dalam istilah pasar modal dikenal dengan margin trading. Di sisi lain, para analis dan spekulan memuji-muji saham tertentu walaupun sebenarnya saham itu sampah.
Uang yang masuk ke pasar modal AS secara bertubi-tubi mengangkat harga saham menjadi terlalu tinggi, melebihi pertumbuhan fundamental emiten saham itu sendiri. Selanjutnya, yang terjadi adalah gelembung ekonomi (economic bubble). Ibarat balon yang terus ditiup, bursa AS akhirnya ”meletus”. Investor yang baru meraih keuntungan besar dari pasar yang sedang bergairah tiba-tiba harus mempersiapkan diri untuk jatuh miskin.
Setelah mencapai puncaknya pada 3 September 1929 di level 391,17 poin, Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) kemudian terkoreksi selama sebulan hingga turun 17 persen. Kamis, 24 Oktober 1929, investor kembali berlomba melepas sahamnya secara massal. Peristiwa yang dikenal dengan ”Black Thursday” atau ”Kamis Kelabu” itu mengakibatkan Dow Jones kembali jatuh, sebesar 13 persen.
Great Depression Jilid II
Dunia kapitalis rupanya tidak bisa berlepas dari krisis. Tercatat ada 16 kali krisis yang pernah terjadi di dunia ini. Dan yang paling fenomenal adalah Great Depression, sebagaimana penulis sebutkan di atas. Sementara untuk krisis yang terjadi tahun ini, disebutkan oleh Kompas.com bahwa total kerugian yang dialami bank-bank diperkirakan mendekati 1.000 miliar dollar Amerika Serikat. Kerugian itu, antara lain, dialami Merril Lynch mencatat kerugian 52,2 miliar dollar AS, Citigroup 55,1 miliar dollar AS, UBS AG 44,2 miliar dollar AS, dan HSBC 27,4 miliar dollar AS. Termasuk jatuhnya lima lembaga keuangan terbesar yaitu Bear Stearns, Lehman Brothers, Fannie Mae dan Freddie Mac serta AIG yang menunjukkan magnitude dari permasalahan yang terjadi saat ini.
Lantas, apa sebenarnya yang terjadi, sehingga negara adidaya seperti Amerika terkena dampak krisis yang luar biasa tersebut?
Dalam artikel yang dimuat di Jawa Pos tanggal 28 September 2008, Dahlan Iskan menyebutkan bahwa sebuah perusahaan yang telah go public dituntut untuk meningkatkan laba hingga 20 persen tiap tahunnya. Hal ini merupakan tanggung jawab CEO dan direktur perusahaan, sementara para pemegang saham hanya ingin tahu bahwa saham yang dipegang, nilai dan labanya terus naik.
Para pemegang saham hanya ingin tahu bahwa harga saham tersebut selalu naik, dengan alasan agar ketika saham itu dijual, memiliki nilai lebih tinggi daripada saat mereka membelinya dulu. Sementara laba yang harus selalu naik, agar supaya para investor ini mendapat deviden atau pembagian keuntungan yang lebih banyak bila dia tak mau menjual saham tersebut.
Karenanya, para CEO berpikir keras agar selalu mampu mewujudkan dua hal di atas, peningkatan laba dan nilai saham. Alasannya agar tetap dapat mempertahankan jabatan dan gaji dan bonus yang selalu meningkat. Sehingga terjadilah simbiosis mutualisme antara pemegang saham dan para direktur. Berbagai cara kemudian dilakukan bahkan hingga menyentuh ranah pelaku politik. Banyak kebijakan yang kemudian disetir agar memberi jalan bagi para CEO tersebut untuk selalu berhasil meraih dua hal di atas. Sementara bagi pelaku politik keuntungannya adalah mendapatkan dana kampanye dan dukungan.
Dengan cara ini ekonomi AS berkembang pesat. Dan sudah 60 tahun AS membesarkan perusahaan dengan cara ini, yang merupakan bagian dari ekonomi kapitalis sehingga AS menjadi penguasa dunia. Tapi itu belum cukup, segala hal harus yang terbaik, terkomputerisasi, bonus yang sudah besar harus dibuat lebih besar lagi. Disinilah ketamakan AS terlihat.
Ketika semua orang sudah membeli rumah, seharusnya tidak ada lagi perusahaan penjual rumah bukan. Namun kenyataannya perusahaan harus meningkatkan penjualan untuk mendapatkan pertumbuhan laba. Maka dicarilah jalan agar rumah terjual lebih banyak. Jika orang sudah memiliki rumah maka diciptakan agar hewan peliharaan juga memiliki rumah. Termasuk barang-barang bergerak seperti mobil.
Namun ketika hewan dan mobil telah memiliki rumah, siapa lagi yang harus membeli?
Maka di tahun 1980, Pemerintah AS mengeluarkan keputusan ‘Deregulasi Kontrol Moneter’, intinya dalam kredit rumah, perusahaan real estate diperbolehkan menggunakan variable bunga. Artinya boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini merupakan peluang besar bagi perusahaan real estate, broker, asuransi dan keuangan. Dari sinilah, para pengusaha tersebut mulai bermain.
Awalnya, sejak tahun 1925, AS memiliki UU Mortgage Tentang KPR, yaitu setiap orang yang memenuhi syarat berhak mengajukan dan mendapatkan kredit rumah. Jika penghasilan setahun 100 juta maka ia berhak mengambil kredit mortgage 250 juta. Karena cicilan jangka panjang maka akan terasa ringan.
Tahun 1980, keluar kebijakan untuk menaikan bunga. Bisnis perumahan mulai terbuka peluang, bank bisa mendapatkan bunga tambahan dan broker dan bisnis terkait bisa berusaha kembali. Tak butuh waktu lama hingga pada tahun 1986 hingga semua orang sudah memiliki rumah, dan karenanya pada tahun itu juga, pemerintah AS menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya, pembeli rumah diberi keringanan pajak. Bagi warga di negara maju, keringanan pajak akan mendapat sambutan luar biasa karena nilai pajak yang tinggi.
Tahun 1990 dengan fasilitas pajak, bisnis rumah meningkat hingga 12 tahun ke depannya. Dari mortgage 150 milyar USD dalam setahun menjadi 2 kali lipat di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2004, mortgage mencapai 700 milyar USD per tahun. Gairah bisnis rumah yang terus meningkat ini membuat para pelaku bisnis menghalalkan segala cara. Mulai dari iklan yang jor-joran, keluarnya lembaga investment bank, hingga melunaknya persyaratan KPR. Dalam pikiran pengembang, jika orang tidak bisa membayar kredit atau kredit macet, toh rumah masih bisa dijual karena perhitungannya tiap tahun harga rumah meningkat. Jadi mereka masih untung ketika terjadi kredit macet.
Namun ternyata dalam jangka kurang dari 10 tahun, banyak kredit macet. Banyak orang menjual rumah, harga menjadi turun sehingga nilai jaminan rumah tidak cocok lagi dengan nilai pinjaman. Satu per satu lembaga investment banking bergururan seperti efek domino.
Berapa juta rumah yang termasuk mortgage? tidak ada data namun dari nilai uangnya sekitar 5 triliun USD. Jadi kalo George Bush meminta bantuan dana 700 milyar USD itu baru sebagian kecil. Kongres kawatir apakah harus menambah 700 milyar USD lagi jika bailout yang pertama tidak berhasil.
Sistem Ekonomi Self Destructive
Dengan ini terlihat jelas, bahwa ternyata sistem ekonomi kapitalis tidak sekuat yang dibayangkan. Sebuah sistem yang oleh Francis Fukuyama disebut sebagai akhir sejarah dunia. Bahkan sebaliknya, banyak orang menyebutnya sebagai sistem rapuh yang bersifat self destructive. Minimal ada tiga hal yang membuat sistem ini disebut sebagai sistem yang ‘menghancurkan dirinya sendiri’.
Pertama, ekonomi berbasis moneter. Sistem ekonomi kapitalis dibangun dengan monetery based economy (ekonomi berbasis sektor moneter). Implikasinya sistem ekonomi kapitalis banyak bermain pada sektor-sektor non riil. Basis ekonomi ini dicirikan dengan adanya bursa saham dan pasar modal yang didalamnya diwarnai dengan aktivitas jual beli saham, obligasi dan berbagai komoditi tanpa adanya syarat serah terima komoditi yang diperjualbelikan. Bahkan komoditi tersebut dapat diperjualbelikan berkali-kali tanpa harus mengalihkannya dari pemilik asli. Model transaksi semacam ini adalah batil dalam pandangan Islam dan mampu menimbulkan banyaknya spekulasi yang berujung pada goncangan pasar.
Kedua: ekonomi berbasis uang kertas. Terjadinya perang dunia pertama pada tahun 1914 telah membuat negara-negara di dunia mengeluarkan cadangan emasnya guna biaya perang. Hal inilah yang kemudia membuat cadangan emas di dunia bertumpuk di Amerika. Kondisi ini kemudian membuat pemerintah negara lain terpaksa beralih ke sistem uang kertas. Akhirnya di kota kecil Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tanggal 22 Juli, 1944, petualangan USD dimulai.
Pasca perang, sistem keuangan internasional kacau, masing-masing negara berlomba-lomba mencetak uang untuk membiayai pembangunan kembali negarannya tanpa diback up dengan kecukupan cadangan emas. Hiper inflasi terjadi (mata uang Jerman pernah sampai 4 trilliun Marks = 1 USD !!), singkat kata, negara Eropa tengah terperangkap dalam resesi. Amerika dan Inggris melakukan inisiatif dalam berbagai pertemuan internasional, kedua negara pemenang perang ini saling berebut untuk memenangkan kepentingannya dalam perjanjian ini. Akhirnya perjanjian Bretton Woods pun ditanda tangani oleh 44 negara.
Dua butir kesepakatan yang sangat penting adalah :
a. Terbentuknya IMF
b. USD dan Poundsterling disepakati sebagai cadangan devisa dari negara penandatangan perjanjian.
Keberhasilan yg dibuat oleh para leluhur Amerika inilah, khususnya butir b, merupakan penyumbang terbesar dalam kejayaan Amerika sampai saat ini, dan saat itu jugalah lingkaran “USD currency traps/jebakan” dimulai. Semenjak disahkannya perjanjian Bretton Woods, konsep mata uang berbasis emas kemudian disingkirkan dan diganti dengan fiat money atau sistem uang berbasis kertas. Pada saat itu emas dengan berat 28,35 gram dihargai sama dengan 35 dolar AS. Sistem uang kertas inilah salah satu faktor yang menyebabkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalis. Uang kertas memiliki kelemahan yang sangat mendasar yaitu selalu terkena inflasi permanen.
Nilai uang 100 juta saat ini tidak sama dengan nilai 100 juta sepuluh tahun mendatang. Oleh karena itu dalam sistem kapitalis dikenal adanya istilah present value (nilai sekarang) dan future value (nilai akan datang). Selain itu sistem uang kertas jauh dari konsep keadilan, karena nilai intrinsiknya tidak sama dengan nilai nominalnya. Bisa saja anda mengantongi uang dengan nominal Rp 10.000 namun ternyata biaya cetaknya hanya Rp 400. Jadi pada hakekatnya Anda tidak mengantongi uang Rp 10.000 namun hanya mengantongi Rp 400.
Ketiga: konsep investasi asing sebenarnya adalah kamuflase dari usaha eksploitasi yang dilakukan oleh negara kapitalis terhadap negara dunia ketiga, yang memiliki kekayaan alam sangat menggiurkan. Investasi asing yang dilakukan di negeri-negeri ini terbukti lebih menguntungkan negara investor. Sebut saja investor asing PT Freeport yang mengeksploitasi emas di Papua dengan keuntungan sekitar Rp 40 triliun per tahun.
Sementara Indonesia sebagai pemilik sah kekayaan alam Papua hanya mendapat 9,4 persen dari keuntungan yang diperoleh. Hal ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan konflik sosial yang timbul akibat ketidakadilan. Ada riset menarik yang dilakukan oleh ekonom Sritua Arief pernah menghitung untuk 1 dolar AS yang diinvestasikan di Indonesia ternyata yang balik keluar dari Indonesia adalah sepuluh kali lipatnya yaitu 10 dolar AS. Untuk kasus Freeport dan produk investasi asing lain, bisa dihitung sendiri.
Agenda mereka yang lain adalah privatisasi (swastanisasi) BUMN, penjualan aset-aset strategis negara (milik rakyat) dengan dalih efisiensi dan pengurangan intervensi pemerintah yang mendistorsi pasar. Privatisasi berubah menjadi “rampokisasi” karena dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang kinerjanya lebih baik, terutama di sektor non keuangan (Baswir, 2002).
Privatisasi ditandai beralihnya kepemilikan tampuk produksi ke pihak asing (Indosat). Akibatnya, pola produksi dan pola konsumsi nasional akan dibentuk oleh kebebasan kekuatan pasar internasional sehingga tidak lagi menerima prioritas pengutamaan kepentingan nasional. Indonesia akan lebih dikuasai pihak asing dan kembali menjadi koloni atau jajahan pihak asing (Sritua, 2001). Nasionalisme ekonomi telah dianggap sebagai barang usang yang patut digudangkan. Ekonomi rakyat kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam mereka (hutan, air, dan tambang).
Lebih lanjut, wikipedia juga memuat berbagai kritikan terhadap Bank Dunia dan lembaga keuangan lain yang dianggap lebih memonopoli manfaat bagi kepentingan Amerika sendiri. Lantas, masih pantaskah kita terus berharap maju dengan sistem ekonomi penghancur ini? Bahkan sang pencetus sistem ini pun tak pernah luput dari berbagai depresi.
Situasi Perekonomian Indonesia
Stagflasi sebagai dampak krisis Amerika
Berdasarkan data laporan dari Kadin (Kamar Dagang Industri Indonesia) terlihat jelas bagaimana pergerakan ekonomi kita sedang menuju pada sebuah titik resesi. Dalam berita resminya “Info Kadin”, gabungan kelompok usaha Indonesia ini menyebutkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia bisa saja terjerumus dalam jurang resesi jika tidak segera dilakukan langkah kongkrit guna mengatasinya. Hal ini dapat dipicu oleh Perkembangan harga minyak dunia cenderung terus melonjak bahkan sempat melampaui US$ 145 per barrel, sementara harga komoditi pangan juga terus meningkat. Hal ini menyebabkan ancaman stagflasi – yaitu situasi dimana pertumbuhan ekonomi sangat lamban, tetapi diikuti oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi – bisa menjadi kenyataan.
Faktor lain yang juga menimbulkan ancaman tersebut adalah akibat krisis keuangan dan krisis perumahan di Amerika Serikat, berbagai faktor lain juga bermunculan mengiringi ketidakseimbangan global. Terus anjloknya kurs dollar Amerika Serikat dan memburuknya krisis kredit di negara-negara industri semakin memperburuk keadaan dan menyebabkan perekonomian dunia berada dalam ketidakpastian yang mengkhawatirkan. Meskipun beberapa negara di Eropa dan Jepang, serta sejumlah negara berkembang bisa tetap menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, namun dampak penurunan perekonomian Amerika Serikat tetap cukup besar dalam mempengaruhi perekonomian global akibat contagion effect pada banyak negara di dunia.
Pun ada beberapa hal lain yang menyebabkan terjadinya stagflasi – stagnansi dan inflasi – ini. Secara ringkas dapat disebut beberapa hal, diantaranya inflasi sebagai dampak kenaikan BBM, beban defisit APBN sebesar Rp. 82,3 Triliun yang belum aman karena masih dibayang-bayangi kenaikan harga minyak dunia. Juga karena tekanan eksternal, dan gangguan pasokan barang-barang kebutuhan pokok inilah yang membuat terjadinya inflasi hingga dua digit pada akhir Juni lalu.
Pada Juni 2008 angka inflasi mencapai 2,46 persen, sehingga secara kumulatif pada Januari-Juni 2008 telah mencapai 7,37 persen, dan inflasi year on year tercatat sebesar 11,03 persen. Laju inflasi yang tinggi terutama disumbang oleh kelompok pengeluaran Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan yang mencatat inflasi sebesar 8,72 persen pada bulan Juni 2008. Kemudian diikuti oleh kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, dimana laju inflasi pada kedua kelompok pengeluaran ini pada bulan Juni 2008 masing-masing mencapai 1,28 persen dan 1,33 persen.
Meskipun mengalami sedikit tekanan akibat terjadinya gejolak pada pasar modal dalam dan luar negeri, secara keseluruhan kurs rupiah tidak berfluktuasi secara berlebihan sampai pertengahan bulan Juli ini. Sebagai lembaga yang bertugas menjaga laju inflasi dan menjaga stabilitas kurs mata uang rupiah, Bank Indonesia berhasil menjaga nilai rupiah pada level yang cukup kredibel dalam pandangan para pelaku ekonomi. Dalam menjaga rupiah, Bank Indonesia terus melakukan intervensi terhadap kurs rupiah demi kenyamanan para eksportir dan para importir melakukan kegiatan usahanya. Hal inilah yang membuat nilai mata uang kita tidak serta merta harus meningkat drastis, meskipun ketika itu dolar terpuruk, guna menghindari gejolak ekonomi dan perubahan kurs dadakan yang bisa membuat bisnis ekspor impor kelimpungan.
Menariknya, wakil presiden Jusuf Kalla yang juga seorang pengusaha ini membuat pernyataan tentang krisis ekonomi Amerika yang tidak terlalu berpengaruh dengan ekonomi Indonesia. Menurut dia, krisis ekonomi di Amerika Serikat belum mempengaruhi ekonomi nasional, meski pemerintah memutuskan menutup Bursa Efek Indonesia (BEI). Kalla meminta para saudagar nusantara tak hilang harapan. Pengusaha dan saudagar juga tidak perlu khawatir terhadap gejolak bursa saham dunia yang ikut memukul BEI. Menurutnya, selama ini pengaruh pasar saham terhadap ekonomi nasional kurang dari 20 persen dari produk domestik bruto. Kondisi ini berbeda dengan bursa AS.
Kalla juga meminta para saudagar turut membantu mengatasi dampak krisis global. Misalnya dengan memberdayakan ekonomi dalam negeri. Menangapi dana talangan yang dikeluarkan Pemerintah AS senilai US$ 700 miliar, Kalla menilai dana tersebut tidak cukup menahan gejolak krisis keuangan yang akan terus berlanjut.
Namun, di tempat lain wakil presiden ini juga mengingatkan agar senantiasa waspada dengan krisis di Amerika. “Selama ini kalau ekonomi Amerika batuk saja, seluruh dunia terkena flu. Sekarang ekonomi Amerika lebih dari batuk, sehingga sepantasnya apabila kita sebaiknya waspada menghadapi kemungkinan yang terjadi di depan,” kata Kalla.
Jebakan Kolonialisme Ekonomi
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa yang sebenarnya terjadi dengan Indonesia. Benarkah negeri ini sudah merdeka? Tapi mengapa, sebagaiamana disebut Kalla, bila Amerika batuk saja seluruh dunia bisa terserang flu? Ada apa dengan Indonesia?
Ternyata, kolonialisme telah bermetaforfosis. Ia tidak lagi berujud perang dan angkat senjata. Kini Amerika dan Barat dengan idealisme mereka yang tak berubah, kolonialisme, rupanya telah menjebak erat kita dengan penjajahan model baru. Dan ternyata, negeri kita tidak benar-benar merdeka!
Bagaimana tidak, ketergantungan negeri ini terhadap intervensi asing dan bantuan luar negeri telah membelenggu kita untuk membuat lompatan-lompatan inovasi guna perbaikan ekonomi. Bahkan untuk sekedar berlepas dari utang, pemerintah tidak menunjukkan komitmen ke arah sana.
Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya langkah signifikan yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi beban utang luar negeri. Mulai dari langkah moderat dengan menolak utang baru hingga langkah paling radikal meminta penghapusan utang, atau bahkan melakukan pembangkangan dengan mengemplang utang karena sebagian utang luar negeri yang ada saat ini dianggap sebagai utang najis (odious debt).
Alih-alih meminta penghapusan utang, sekadar mempercepat pelunasan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pun pemerintah terkesan berat hati. Tahun lalu, keberatan untuk mempercepat pelunasan utang kepada IMF dikemukakan antara lain oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah.
Menurut Gubernur BI, meskipun tidak dapat digunakan, dana IMF yang masih tersisa sebesar 7,8 miliar dollar AS bisa diputar oleh BI untuk menambah penghasilan pemerintah. Tahun ini, setelah IMF menaikkan suku bunga pinjaman dari 3,5 menjadi 4,5 persen, keberatan untuk mempercepat pelunasan utang IMF disuarakan langsung oleh pejabat Departemen Keuangan. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia P Nasution mengatakan pelunasan utang kepada IMF dapat memancing para spekulan untuk menarik dana mereka dari Indonesia.
Sikap ini dinilai sebagai upaya mempertahankan intervensi IMF di negeri ini. Sikap pemerintah yang menolak anjuran Koalisi Anti-Utang agar menghapuskan utang lama dan menolak utang baru juga sangat bertolak belakang dengan kecenderungan internasional yang semakin kritis terhadap utang. Kritik tidak hanya muncul berkaitan dengan efektivitas utang itu sendiri, tetapi juga sisi kelembagaannya, sisi ideologi, serta implikasi sosial politiknya.
Dari efektivitas, secara internal utang luar negeri tidak hanya menghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara pengutang. Utang juga mengakibatkan kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi (Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick, 1997; Todaro, 1987).
Secara eksternal, utang luar negeri juga meningkatkan ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan juga pada tradisi pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).
Dari sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri, seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sendiri dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel. Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan negara-negara negara-negara maju pemegang saham utama lembaga-lembaga tersebut, untuk mengintervensi negara-negara pengutang (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan Winters, 2004).
Dari sisi ideologi, utang luar negeri dituding telah dipakai oleh negara-negara kreditor, terutama AS, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia dan ”menguras dunia” (Erlerm, 1989). Dari sisi implikasi sosial politik, utang luar negeri dicurigai sengaja dikembangkan oleh negara-negara kreditor untuk mengintervensi negara-negara pengutang.
Secara tidak langsung, utang dianggap juga bertanggung jawab atas lahirnya rezim-rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi, perdagangan obat-obatan terlarang, serta terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992; Hanton, 2000).
Masalah utang luar negeri sebenarnya bukan masalah baru bagi Indonesia, karena Indonesia sudah menjadi pelanggan utang, bahkan sebelum merdeka. Tetapi, utang baru menjadi masalah serius setelah terjadi transfer negatif bersih (utang yang diterima lebih besar dibandingkan cicilan pokok dan bunga utang yang harus dibayar setiap tahun) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 1984/1985.
Tahun 1950, utang pemerintah tercatat 7,8 miliar dollar AS, terdiri dari utang warisan Hindia Belanda 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 3,8 miliar dollar AS.
Pada awal kemerdekaan, sikap Soekarno-Hatta sebagai Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi, mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, mereka mewaspadai kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk mencederai kedaulatan Indonesia sehingga mereka cenderung menetapkan persyaratan cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
Syarat tersebut, negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, dan suku bunga tidak lebih dari 3-3,5 persen per tahun. Selain itu, jangka waktu utang cukup lama, untuk keperluan industri 10-20 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur lebih lama lagi (Hatta, 1970).
Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Sikap ini pula yang membuat Soekarno waktu itu dengan gagah, berani mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Masihkah negeri ini dapat dikatakan merdeka, bila swastanisasi besar-besaran sudah menjadi kebijakan pemerintah. Ini tak lain karena desakan IMF dan Bank Dunia. Bila Indonesia membangkang, bisa jadi kita dipaksa membayar semua utang tersebut. Kemungkinan terburuk karena tak bisa membayar utang, Indonesia bangkrut.
Ironisnya, menteri keuangan saat ini, Sri Mulyani dan gubernur BI kita adalah orang-orang yang patuh dan mengagumi IMF. Bila ini gambaran pucuk pimpinan koordinasi keuangan, bisa dibayangkan bagaiamana kebijakan ekonomi kita, dengan mudah akan terus disetir oleh dua lembaga keuangan Barat tersebut.
Intervensi dan Kejahatan Kapitalisme di Indonesia
Istilah kapitalisme berarti kekuasaan ada di tangan kapital, sistem ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing dalam batasan-batasan ini. Terdapat tiga unsur penting dalam kapitalisme: pengutamaan kepentingan pribadi (individualisme), persaingan (kompetisi) dan pengerukan kuntungan. Individualisme penting dalam kapitalisme, sebab manusia melihat diri mereka sendiri bukanlah sebagai bagian dari masyarakat, akan tetapi sebagai “individu-individu” yang sendirian dan harus berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. “Masyarakat kapitalis” adalah arena di mana para individu berkompetisi satu sama lain dalam kondisi yang sangat sengit dan kasar. Ini adalah arena pertarungan sebagaimana yang dijelaskan Darwin, di mana yang kuat akan tetap hidup, sedangkan yang lemah dan tak berdaya akan terinjak dan termusnahkan, dan tempat di mana kompetisi yang sengit mendominasi.
Awan Santosa, menyebutkan beberapa kebijakan yang disinyalir erat kaitannya dengan intervensi asing tersebut. Isu-isu yang sarat dengan kebijakan pemerintah yang mendewakan Amerika ditulis oleh Awan Santosa dengan lugas. Beberapa isu tersebut adalah mengenai amandemen pasal 33 UUD 45. Kita tahu, bahwa dalam UU ini disebutkan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk kepentingan umum. Namun, setelah diamandemen, tafsir mengenai pasal ini pun menjadi buram bahkan disingkirkan.
Korporat pemilik modal berkolaborasi dengan birokrat oportunis dan intelektual (ekonom) berhaluan neo-liberal berhasil memenangkan ideologi (kepentingan) mereka untuk me-liberalisasi sistem ekonomi Indonesia (Mubyarto, 2002). Mereka yang memuja pasar bebas ini telah menyingkirkan koperasi dari UUD 1945. Membonceng agenda reformasi sistem politik (dan dalih “tidak ada Penjelasan di UUD negara-negara lain”) mereka menghapus seluruh Penjelasan UUD 1945 secara membabi buta. Tidak hanya koperasi yang mereka kerdilkan. Makna demokrasi ekonomi pun telah mereka telikung. Tidak ada lagi konsepsi “produksi dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”, “kemakmuran bersama yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”, dan “jika tampuk produksi ditangan orang seorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya”.
Demokrasi ekonomi masuk ke pasal baru (pasal 4) dengan tafsir buram, disejajarkan dengan makna kemandirian, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Telah terjadi pelumpuhan kekuatan rakyat, di mana kedaulatan (ekonomi) rakyat berganti dengan kedaulatan pasar (Swasono, 2003). Patut disadari bahwa mudah menghancurkan ekonomi (ekonomi rakyat) suatu negara dengan mengobrak-abrik sistem konstitusi (perundang-undangan) di negara tersebut. Ironisnya, sedikit suara dan gerakan yang melawan agenda ini . Gerakan koperasi (sebagai korban) rupanya masih sibuk dengan masalah-masalah fungsional (usaha-internal) mereka sendiri sehingga alpa dengan masalah struktural (fundamental) yang (kelak) “menjegal” gerakan mereka.
Dan penulis yakin, kita kenal dengan istilah-istilah modern saat ini, yang ternyata adalah produk hasil ideologi neoliberal. Sebut saja, privatisasi (swastanisasi) BUMN, liberalisasi pasar bebas, subsidi ekonomi rakyat kepada korporasi (perusahaan) raksasa, dan ketergantungan kepada investor asing. Itu hanya sebagian dari yang penulis sebut dan masih banyak lagi produk kebijakan pemerintah yang salah kaprah karena diintervensi oleh Barat dan Amerika.
Kabar terakhir dalam pemberitaannya, Kompas menulis (25/7) bahwa Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memasukkan Indonesia pada peringkat ke 7 sebagai negara paling parah dalam menghambat investasi asing. Alasan utama OECD menempatkan Indonesia pada posisi yang rendah adalah masih dilakukannya pembatasan kepemilikan usaha.
Tampak jelas bahwa ini adalah bagian dari tekanan dan intervensi pihak asing kepada para pejabat tinggi negara Indonesia untuk mengatur ekonomi Indonesia. Menempatkan peringkat investasi di Indonesia dalam posisi yang rendah hanyalah sebuah alat untuk menekan mindset para pejabat berwenang Indonesia. Tuntutan negara-negara maju dengan gerbong perusahaan-perusahaan raksasanya terhadap Indonesia hanya satu, yakni: SERAHKAN SELURUH SUMBER DAYA EKONOMI DAN PASAR INDONESIA KE TANGAN PARA INVESTOR ASING.
John Perkins, penulis buku kontroversial “Hit Man” menguak keganasan kolonialisme ekonomi ini dengan sebuah teori korporatokrasi, yakni sebuah gerakan dalam rangka membangun imperium global, korporasi, international finance institutions dan pemerintah bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka (John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, 2004).
Kuasa korporasi yang sangat besar di Indonesia diawali oleh peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah sejak ujung kekuasaan Soekarno, diperbesar oleh rezim Soeharto dan berlangsung hingga saat ini. Di awali UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 5/67 Tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi I dan II, menghantar Indonesia memasuki fase: Jual Murah; Jual Cepat; dan Jual Habis Kekayaan Alam demi kejayaan korporasi.
Dengan model ekploitasi alam yang diizinkan negara saat ini berdampak pada meningkatnya jumlah dan jenis bencana ekologis. Dalam kurun waktu 2006-2007 Bencana Ekologis (Banjir, longsor, gagal panen, gagal tanam, kebakaran hutan) tercatat 840 kejadian bencana, dengan menelan korban 7.303 jiwa meninggal dunia dan 1.140 orang dinyatakan hilang; sedikitnya 3 juta orang menjadi pengungsi dan 750.000 unit rumah rusak atau terendam banjir. Data ini belum termasuk korban akibat semburan lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo.
Selain bencana ekologis juga terjadi bencana pemiskinan penduduk di Pegunungan Tengah Papua, Kutai Karta Negara, Bagian Utara NAD, Riau, Sumsel dll., kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal di Sidoarjo (Lapindo), Buyat (Newmont), Kelian (Rio Tinto) dan Murung Raya (Aurora Gold), termasuk penyingkiran dengan kekerasan dari daerah eksplorasi alam, seperti di Kontu (Muna, Sultra), Runtu (Kalteng), Buyat (Sulut).
Harun Yahya menutup artikel panjangnya dengan sebuah konklusi, “Kapitalisme telah menyeret manusia untuk menyembah hanya uang dan kekuatan yang bersumber dari uang. Dengan menganggap segala ajaran agama dan etika sebagai sesuatu yang tidak bermakna, masyarakat yang terpengaruh oleh gagasan evolusi mulai lebih mementingkan peranan dan kekuatan yang bersifat materi, dan terseret menjauhi perasaan seperti cinta, kasih sayang dan pengorbanan.”
Moralitas kapitalis ini telah menjadi sangat berpengaruh hampir di seluruh masyarakat masa kini. Dengan dalih ini, kaum miskin, lemah dan tak berdaya tidak diberikan bantuan serta perlindungan. Bahkan jika mereka terjangkiti penyakit parah dan mematikan, mereka tidak mampu mendapatkan siapa saja yang dapat membantu mengobati. Kaum papa diterlantarkan begitu saja dengan penyakitnya hingga meninggal. Di banyak negara, berbagai kedzaliman dan tindakan tak manusiawi seperti pemaksaan anak-anak secara kasar untuk bekerja [sebagai pengemis] dan perampasan hak-hak sosial sangatlah sering dijumpai. Mungkinkah ini yang sedang terjadi di negara kita?
Ekonomi Islam; Sebuah Altenatif Kebangkitan
Karakteristik dan Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Telah kita telaah bersama bagaimana sebuah konsep kapitalisme ternyata tidak membawa maslahat bagi umat manusia. Terlebih bagi negara-negara berkembang seperti di negara kita. Bisa saja ia memang membawa maslahat, tapi kepada siapa? Tentu kepada negara-negara besar dan pemilik modal yang kuat. Sementara bagi segolongan lain, hal itu merupakan pemerasan dan eksploitasi ekonomi. Tidak heran, bila sejak dicetuskannya paham ini di tahun 1970-an hingga sekarang, negara-negara berkembang yang masih menganut sistem ini tidak kunjung maju dan selalu jadi bulan-bulanan. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Maka bagi siapa yang keukeuh berharap pada sistem ekonomi kapitalis, seperti pungguk merindukan bulan.
Lantas, apakah kita akan berdiam diri dan berbicara tanpa solusi? Akankah negara ini akan terus begini dan menjadi bulan-bulanan bangsa asing? Bagaimana dengan solusi Islam sendiri selaku way of life? Atau adakah sistem ekonomi lain sebagai pengganti bobroknya sistem ekonomi kapitalis?
Pada dasarnya, melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat kita, para ekonom penentang kapitalis menawarkan dua buah sistem. Yang pertama adalah sistem berbasis demokrasi ekonomi dan yang kedua adalah sistem ekonomi berbasis syariah. Sistem demokrasi ekonomi sengaja tidak penulis bahas di sini agar nanti tidak berkepanjangan, selain juga karena menurut anggapan penulis sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi yang tidak saja lebih ‘pas’ bagi bangsa ini, tapi juga lebih menentramkan.
Secara karakter, ekonomi dalam tinjauan Islam tidak dapat dipisahkan dengan akidah syariah dan akhlak. Ini pula yang disebut Dalam praktiknya, ekonomi Islam dimanivestasikan dalam kegiatan perekonomian yang menjunjung tinggi dan dibingkai oleh akhlak yang terpuji. Hanya dengan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji (al-akhlaaq al-kariimah) kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan manusia akan terwujud. Dan telah sama-sama kita tahu, bahwa perbaikan akhlak terpuji inilah yang menjadi misi utama diutusnya Rasulullah saw.
عن ابى هريرة ان النبى صلى الله عليه و سلم قال " إِنَّمَا بُعِثْت لِأُتَمِّم صَالِح الْأَخْلَاق " و اللفظ
لأحمد
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” Dan lafaz ini dari Imam Ahmad.
Dan Maha Suci Allah yang telah menurunkan agama ini sebagai solusi atas berbagai problematika manusia. Tak terkecuali dengan permasalahan ekonomi yang menjadi sisi penting kehidupan mereka. Allah swt. berfirman,
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)
Jelas bahwa Allah menurunkan Al Quran ini sebagai kitab suci sempurna, yang menjadi petunjuk manusia di dunia dengan segala dinamikanya.
Agama Islam memandang bahwa semua bentuk kegiatan ekonomi adalah bahagian dari mu’amalah. Sedangkan mu’amalah termasuk bahagian dari syari’ah, salah satu dari kedua ajaran Islam yang pokok lain yang tidak dapat dipisah-pisahkan: ‘aqidah dan akhlaq. Dalam kaitan ini Allah SWT. memberi tamsil tentang hubungan yang tak terpisahkannya ketiga ajaran pokok Islam itu dalam firman-Nya:
• •• •
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikitpun.” (Q.S.Ibrahim (14):24-26)
Ekonomi Islam dibangun, ditegakkan dan dilaksanakan berdasarkan ruh dan spirit serta menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut:
1. ‘Aqidah tauhid,
2. Keadilan,
3. Kebebasan, dan
4. Ke-mashlahat-an (akhlak yang terpuji).
Nilai-nilai kemuliaan itu disarikan dari firman Allah di dalam Q.S. at-Tkaatsur (102):1–2), al-Munaafiquun (63):9, an-Nuur (24):37, al-Hasyr (59):7, al-Baqarah (2):188, 273–281, al-Maidah (5):38, 90-91, al-Muthaffifin (83):1-6, dan sebagainya. Inilah yang kita sebut sebagai karakter dan ide pembangungan ekonomi Islam.
Peranan ‘aqidah, tauhid dan akhlak yang terpuji dalam semua kegiatan setiap manusia, termasuk di dalamnya kegiatan bidang ekonomi, adalah sangat penting. Kedua pokok ajaran Islam itu akan mengarahkan kegiatan perekonomian ke jalan yang sesuai dengan syari’at Islam.
Keadilan, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, adalah kunci dan dasar dari segala aktivitas manusia yang menginginkan terwujudnya kesejahteraan, ketenangan dan keamanan hidup di dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini ‘aqidah tauhid sebagai fondasi dari seluruh kegiatan setiap muslim merupakan manifestasi dari keadilan. Sebaliknya, syirk, menyekutukan Allah SWT, adalah bahagian dari kezaliman (Q.S.Luqman (31):13).
Keadilan merupakan sarana terdekat untuk menuju taqwa, yaitu suatu tingkatan akhlaq terpuji yang paling tinggi (Q.S. al-Maidah (5):8) Oleh karena itu seluruh kebijakan dan kegiatan perekonomian harus dilandasi prinsip keadilan dan secara intrinsik mewujudkan keadilan, tolong menolong dan kemitraan. Ekonomi dalam pandangan Islam harus menjalankan dua misi perekonomian sekaligus, yaitu pertumbuhan dan pemerataan distribusi. Pada tataran teknis kedua misi itu tampak pada produk mudharabah (lost and profit sharing). Pada produk ini pemilik modal dan pengelola modal ditempatkan pada posisi yang sejajar dan berkeadilan.
Lebih jauh, Al-Qur’an dan Hadis memandang prinsip keadilan sebagai salah satu tujuan pokok syari’ah (Q.S. an-Nahl (16):90). Karena itu, para ulama Islam telah menetapkan kesepakatannya bahwa prinsip berkeadilan merupakan syarat utama pelaksanaan kegiatan perekonomian syari’ah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Prinsip kebebasan dimaksudkan bahwa manusia bebas melakukan seluruh kegiatan perekonomian selama tidak ada petunjuk dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang melarangnya.
Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk kreativitas dan inovasi di bidang perekonomian adalah merupakan keniscayaan. Pilar kebebasan yang melandasi aktivitas ekonomi menanamkan ‘aqidah dan keyakinan pada setiap muslim untuk tidak patuh dan tunduk selain kepada peraturan dan ketentuan Allah SWT. (Q.S. ar-Ra’d (13):36 dan Q.S. Luqman (31):32). Ini merupakan dasar bagi piagam kebebasan Islam dari segala bentuk perbudakan. Berkaitan dengan ini, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari risalah kenabian Muhammad SAW. adalah membebaskan seluruh umat manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah Yang Maha Esa saja. Islam membebaskan seluruh pemeluknya dari segala macam belenggu hawa nafsu, setan dan sebagainya (Q.S. al-A’raf (7):157)7.
Konsep Islam sangat jelas dan lantang bahwa manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan negara sekalipun yang boleh merampas kemerdekaan tersebut dan membuat manusia menjadi terikat. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan sepanjang dapat mempertanggungjawabkan, baik kepada sosial maupun kepada Allah. Islam menjamin kebebasan setiap individu yang dibingkai oleh akhlak yang terpuji dan tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar serta tidak mengabaikan hak-hak kebebasan orang lain.
Berkaitan dengan ini, para ulama Islam telah menetapkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menjamin hak-hak kebebasan individu dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut:
1. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari pada kepentingan individu.
2. Menghilangkan kesulitan (dar’u al-mafasid) harus diprioritaskan dibanding menarik manfaat (jalbu al-mashaalih), meskipun kedua-duanya sama-sama menjadi tujuan syari’ah.
3. Memperoleh kerugian yang lebih besar yang disebabkan mendahulukan tindakan untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil tidak dapat diperkenankan.
Sebaliknya demikian juga, mengorbankan manfaat yang lebih besar untuk mempertahankan atau meraih manfaat yang lebih kecil juga dilarang. Demikian juga menanggung resiko bahaya yang lebih kecil untuk menghindarkan resiko bahaya yang lebih besar, atau mengorbankan manfaat yang lebih kecil untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar adalah tindakan yang dibenarkan.
Pertanggungjawaban dalam kegiatan ekonomi syari’ah memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambil atau tindakan yang telah dilakukan. Manusia, menurut Islam, adalah makhluk yang mempunyai kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan yang akan diambil. Konsekwensi kebebasannya ini, kelak, akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Karena itu, hampir tidak ditemukan di dalam perkembangan ekonomi Islam tindakan-tindakan yang didasari oleh sikap positivesme – yang merupakan salah satu dari pilar penting dalam perekonomian konvensional. Positivisme yang diartikan sebagai paham bebas nilai, bebas etika atau bebas dari pertimbangan-pertimbangan normatif adalah bertentangan secara deametral dengan sikap Islam yang mengakui bahwa segala yang dimiliki manusia adalah amanat, titipan, dari Allah SWT.
Seluruh sumberdaya adalah karunia Allah yang dititipkan kepada manusia sebagai sarana mempermudah pengabdiannya kepada-Nya. Karena itu segala tindakan manusia menyangkut masalah ekonomi ini khususnya, kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Yang memberikan titipan, Allah SWT.
Universalitas dan Inklusivitas Ekonomi Islam
Secara teori dan ide terlihat bahwa ekonomi Islam akan mampu berkembang menjadi sebuah sistem ekonomi terbaik, dan solusi alternatif bagi dunia. Namun, sejauh mana sistem ini dapat diadopsi oleh dunia? Mungkinkah?
Salah satu karakter dasar ekonomi syariah ialah sifatnya yang universal dan inklusif. Ekonomi syariah mengajarkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kejujuran, transparansi, anti korupsi, dan ekspolitasi. Artinya misi utama ekonomi syariah adalah tegaknya nilai-nilai akhlak moral dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan ataupun negara.
Sebagaimana disebut tadi, karakter fundamental dari ekonomi syariah, adalah universal dan inklusif. Bukti universalisme dan inklusivisme ekonomi syariah cukup banyak.
Pertama, bahwa ekonomi syariah telah dipraktikkan di berbagai negara Eropa, Amerika, Australia, Afrika dan Asia. Singapura sebagai negara sekuler juga mengakomodasi sistem keuangan syariah. Bank-Bank raksasa seperti ABN Amro, City Bank, HSBC dan lain-lain, sejak lama telah menerapkan sistem syari’ah. Demikian pula ANZ Australia, juga telah membuka unit syari’ah dengan nama First ANZ International Modaraba, Ltd. Jepang, Korea, Belanda juga siap mengakomodasi sistem syariah.
Fakta itu sejalan dengan laporan the Banker, seperti dikutip info bank (2006) ternyata Bank Islam bukan hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok muslim, tetapi juga di negara-negara non muslim, seperti United kingdom, USA, Kanada, Luxemburg, Switzerland, Denmark, Afrika Selatan, Australia, India, Srilangka, Fhilipina, Cyprus, Virgin Island, Cayman Island, Swiss, Bahama, dan sebagainya. Sekedar contoh tambahan, di luxemburg, yang menjadi Managing Directors di Islamic Bank Internasional of Denmark adalah non Muslim yaitu Dr. Ganner Thorland Jepsen dan Mr. Erick Trolle Schulzt.
Kedua, kajian akademis mengenai ekonomi syariah juga banyak dilakukan di universitas-universitas Amerika dan negara Barat lainnya . Di antaranya, Universitas Loughborough di Inggris. Universitas Wales, Universitas Lampeter yang semuanya juga di Inggeris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong, Australia. Di Harvard University setiap tahun digelar seminar ekonomi syariah bernama Harvard University Forum yang membahas tentang Islamic Finance. Malah, di tahun 2000 Harvard University menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi Internasional Ekonomi Islam Ke-3.
Perhatian mereka kepada ekonomi syariah dikarenakan keunggulan doktrin dan sistem ekonomi syariah. Karena itulah, maka banyak ekonom non muslim yang menaruh perhatian kepada ekonomi syariah serta memberikan dukungan dan rasa salut pada ajaran ekonomi syariah, seperti Prof Volker Ninhaus dari Jerman (Bochum Universitry), William Shakpeare, Rodney Wilson, dan sebagainya. Dr. Iwan Triyuwono, seorang ahli akuntansi dari Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, ketika menulis disertasinya tentang akuntansi syari’ah di Universitas Wolongong, Australia, mendapat bimbingan dari promotor, seorang ahli akuntansi syari’ah yang ternyata seorang pastur.
Ketiga, harus dipahami larangan riba (usury) yang menjadi jantung sistem ekonomi syariah bukan saja ajaran agama Islam, tetapi juga larangan agama-agama lainnya, seperti Nasrani dan Yahudi. Dengan demikian, bagi pemeluk agama manapun, ekonomi syariah sesungguhnya tidak menjadi masalah.
Pandangan agama Yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab perjanjian lama pasal 22 ayat 25 yang berbunyi, Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku yang miskin diantara kamu, maka janganlah enkau berkaku seperti orang penagih hutang dan janganlah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu”.
Pandangan agama Nasrani mengenal bunga, terdapat dalam kitab perjanjian lama kitab deuteronomiy pasal 23 ayat 19.”Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makan yang dibungakan”.Selanjutnya dalam perjanjian baru dalam injil lukas ayat 34 disebutkan, “Jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu, tetapi berbuatlah kebajikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya karena pahala kamu akan banyak”.
Melihat pandangan kedua agama tersebut tentang pelarangan bunga, amatlah tepat untuk menyimpulkan bahwa umat non muslimpun harus menyambut baik lembaga-lembaga keuangan dan system ekonomi tanpa bunga. Hal ini dikarenakan ekonomi syariah telah memberikan jalan keluar dari larangan kitab suci di atas. Dan inilah agaknya sarana yang paling tepat untuk mengembangkan kerja sama dalam memerangi bunga yang telah dilarang agama samawi tersebut. Fakta kerjasama ini telah banyak terjadi di Indonesia, seperti di Kupang, Palu, Menado, Maluku Utara dan sebagainya. Para deposan dan nasabah bank-bank syariah banyak (dominan) dari kalangan non muslim dan tokohnya para pendeta.
Keempat, para filosof Yunani yang tidak beragama Islam juga mengecam sistem bunga. Sejarah mencatat, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya politics telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa sistem bunga merupakan sistem yang tidak adil. Menurutnya uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan uang yang lain. Selanjutnya ia mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya. Sementara itu, Plato (427-345 SM), dalam bukunya “LAWS”, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zholim. Menurut Plato, uang hanya berfungsi sebagai alat tukar, pengukuran nilai dan penimbunan kekayaan. Uang sendiri menurutnya bersifat mandul (tidak bisa beranak dengan sendirinya).
Uang baru bisa bertambah kalau ada aktivitas bisnis riel. Pendapat yang sama juga dikemukan Cicero. Ketiga filosof Yunani yang paling terkemuka itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosof Yunani tentang larangan bunga.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka tidak perlu ada yang takut (phobi) kepada ekonomi syariah, karena manfaat ekonomi syariah akan dinikmati oleh semua komponen rakyat di Indonesia, bahkan jika diterapkan di skala global, akan menciptakan tata ekonomi dunia yang adil dan makmur.
Ekonomi syariah yang melarang kegiatan riba dan spekulasi, akan menciptakan stabilitas ekonomi bangsa secara menyeluruh. Ekonomi syariah yang mengedepankan gerakan sektor riil (bukan derivatif) , akan secara signifikan menumbuhkan ekonomi nasional dan tentunya ekonomi rakyat. Tegasnya, ekonomi syariah justru akan membantu pembangunan ekonomi negara dan bangsa.
Membangun Sistem Ekonomi Islam di Indonesia
Bayang-bayang kehancuran ekonomi kapitalis telah diungkapkan oleh beberapa pakar ekonom dunia. Joseph Stiglizt, seorang ekonom kawakan peraih Nobel, dalam sebuah wawancara dengan CNN mengatakan bahwa dahulu kita menyuruh negara lain untuk mengikuti dan mencontoh kita, tapi sekarang kapitalisme Amerika tengah menuju kepada kematiannya. Sebuah pernyataan yang menyiratkan bahwa ekonomi AS berada di ambang kehancuran. Bahkan, Paul R Krugman, peraih Nobel ekonomi 2008, telah berkali-kali mengingatkan akan kehancuran dan kegagalan kapitalisme ekonomi.
Kenyataan ini semakin didukung dengan adanya pertemuan di Camp David Maryland, bahwa Presiden Bush dan Presiden Sarkozy pernah bersepakat bahwa krisis keuangan global ini memungkinkan munculnya sistem keuangan yang baru.
Ini merupakan pertanda bahwa kalau kita ingin menyelamatkan kehidupan ekonomi, maka harus segera meninggalkan kapitalisme dan kembali pada aturan Allah SWT (ekonomi syariah). Akankah kehancuran dari ekonomi dan keuangan konvensional merupakan jalan bagi munculnya kekuatan mazhab ekonomi syariah yang nantinya akan mendominasi dunia?
Indonesia adalah negara yang kompleks. Dari semboyannya saja dapat kita ketahui bahwa negeri ini benar-benar berbeda. “Bhinneka Tunggal Ika,” seolah menyiratkan makna yang mendalam bahwa negeri ini terdiri dari susunan dan unsur yang tak sama. Dan, hingga sejauh ini masih banyak kalangan yang masih fobia dengan Islam, termasuk sistem ekonomi Islam. Tidak saja orang yang notabene adalah orang non-Muslim, bahkan dari kalangan Muslim sendiri banyak yang sangsi ataupun khawatir dengan hal-hal yang berbau Islam.
Bahkan penulis jadi teringat suasana pelatihan ekonomi Islam kemarin di PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo). Waktu itu, Ustazah Yuli Yasin mengungkapkan rasa pesimisnya dengan kondisi perekonomian Indonesia. Tak heran, karena hingga saat ini belum ada orang yang ahli di bidang ini, khususnya perekonomian makro di negeri kita. Syafii Antonio memang sudah pakar, tapi ia belum mampu sepintar Gubernur BI Burhanuddin Abdullah atau menteri ekonomi kita, Boediono dan Sri Mulyani, menteri keuangan.
Hal inilah sebagai penghambat utama mengapa negara kita belum mampu menerapkan sistem ekonomi syariah di tingkat negara. Namun, paling tidak negeri ini sudah mulai menerapkan sistem ekonomi syariah sebagai alternatif dunia perbankan kita. Dan kini telah banyak ditemukan inovasi-inovasi baru pengganti perangkat ekonomi ribawi dalam dunia kapitalis.
Dan lebih lanjut, KH. Didin Hafiduddin, Ketua Umum Baznas mencoba memberikan beberapa langkah praktis tentang penerapan sistem ekonomi Islam di Indonesia. Beliau menilai bahwa hal ini sangat tergantung pada komitmen kita semua, baik pemerintah, para alim ulama, pelaku bisnis, dan masyarakat secara keseluruhan. Maukah kita semua bersama-sama menjadikan ekonomi syariah sebagai tulang punggung perekonomian bangsa dan dunia? Apalagi Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, pada pertengahan Oktober 2008 lalu telah menyerukan dunia untuk bersama-sama menciptakan sistem keuangan dunia yang baru, menggantikan sistem yang ada sekarang.
Pertama, hendaknya kita bersungguh-sungguh melaksanakan sistem ekonomi syariah dalam arti sebenarnya. Baik dalam ruh maupun praktik.
Kedua, hendaknya kita selalu bersinergi dalam mengembangkan ekonomi syariah, termasuk di dalamnya industri perbankan dan asuransi syariah maupun institusi LKS lainnya. Prinsip ta'awwun harus mampu direfleksikan dengan baik. Tidak boleh ada upaya saling menjegal dan saling menggunting dalam lipatan hanya karena mengejar keuntungan atau profit semata.
Kemudian yang ketiga, perlunya penguatan SDM yang memiliki kompetensi yang sangat luar biasa, baik secara moral maupun secara intelektual (QS Yusuf [12]: 55). Sudah saatnya kita semua, termasuk pemerintah, mulai memikirkan bagaimana menumbuhkembangkan desain kurikulum pendidikan ekonomi syariah yang terintegrasi, tepat arah, dan memiliki output serta tujuan yang jelas.
Keempat, diimbau kepada para pengambil kebijakan negeri ini, baik pemerintah maupun DPR, bersama-sama menjadikan ekonomi syariah sebagai panglima kehidupan perekonomian nasional. Segala perangkat regulasi dan aturan juga perlu untuk diperkuat secara terus-menerus dan berkelanjutan. Tanpa adanya perjuangan di tingkat regulasi, kita khawatir bahwa industri ekonomi syariah hanya akan berjalan di tempat. Kita berharap bahwa pemerintah dan DPR tidak perlu ragu lagi untuk terus menggulirkan kebijakan yang proekonomi syariah.
Akhirnya, dapat kita simpulkan bahwa benarlah apa yang dikatakan Allah swt dalam firmannya,
“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran: 83)
Borok dan penyakit sistem kapitalis telah terkuak lebar. Baik itu sejarah, fakta, teori, komentar dan bahkan oleh Islam sendiri telah disebutkan. Semua bukti dan fakta mengarah lurus pada ketimpangan sistem ekonomi kapitalis. Dunia dulu pernah disilaukan oleh sistem ini. Dunia dulu buta akan kamuflase yang dipakainya. Tapi sekarang, semua kejahatan dan kebobrokan sistem ini telah terkuak. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah, sudah siapkah kita menyongsong kebangkitan ekonomi Indonesia lewat sistem ekonomi syariah?
Wallahu a’lam bishowab.