Indonesia, negeri kita saat ini, sadar atau tidak sedang berada di jalur tol kemajuan ekonomi. Melesat sangat cepat, kalau boleh dibilang bahkan tercepat kedua di dunia setelah China. Iya, tercepat di dunia, bukan hanya di Asia! Benarkah? Ini Indonesia gitu loh?? Negeri yang selalu penuh dengan masalah. Kok bisa?
Tidak usah kaget. Dalam dunia ekonomi saat ini, pasar adalah factor penting. Bahkan boleh dibilang lebih penting dari factor produksi itu sendiri. Karena tanpa pasar, maka sebuah perusahaan akan segera bangkrut dan mati. Tengoklah perusahaan-perusahaan besar di dunia. Dari mana mereka hidup, meraih keuntungan, dan menjadi besar seperti sekarang ini? Jawabannya adalah karena konsumen. Maka tak heran bila seringkali untuk membandingkan besarnya suatu perusahaan adalah perbandingan ceruk pasar, alias market share dengan perusahaan saingan. Semakin besar market share-nya, semakin besar keuntungan yang bakal diperoleh.
Kembali ke Indonesia, maka tidak usah heran bila Indonesia sekarang jadi mobil balap di arena pertumbuhan ekonomi. Ya, karena Indonesia punya potensi pasar yang luar biasa besar. 240 juta orang! Bayangkan Anda punya perusahaan biscuit seharga Rp. 5.000 dan dibeli oleh separuh saja dari mereka. Maka kalikan 120 juta. Hasilnya adalah Rp. 600 Milyar. Itu hanya dari satu biscuit, satu perusahaan, dikali separuh dari jumlah penduduk Indonesia.
Maka tak ada yang menolak fakta, bahwa mesin mobil balap ekonomi Indonesia saat ini adalah : belanja, konsumsi. Factor ini pula yang menyelamatkan Indonesia dari jurang krisis ekonomi tahun 1998 lalu. Bukan perubahan politik, alias repotnasi. Eh, reformasi.
Nah, tentu kita juga sadar. Bahwa di balik potensi, akan selalu ditemani risk, alias resiko. Hitungannya tetap sama. Maka bayangkan bila setiap orang di Indonesia mogok belanja, bisa dibayangkan berapa potensi kehilangan uang yang diderita sebuah perusahaan..
Maka pemerintah pun merasa punya kewajiban untuk terus mendorong mesin pertumbuhan itu. Dengan cara instan, kenaikan gaji PNS, yang akan diikuti oleh kenaikan gaji pegawai swasta sebesar kurang dari 10 persen per tahun. Selanjutnya, akan diikuti pula dengan kenaikan gaji pedagang.. eh, kenaikan harga barang dari pedagang, sebesar lebih dari 10 persen. Karena semuanya saling menaikkan harga jasa dan komoditas, maka yang terjadi adalah penurunan nilai mata uang. Inflasi.
Untuk menjaga agar inflasi yang terjadi tidak berlebihan atau liar, maka pemerintah pun merancang kebijakan inflation targeting framework. Tujuannya agar penurunan nilai mata uang ini bisa dikendalikan, dihitung, direncanakan.. diatur semaunya, dan diantisipasi dengan berbagai instrument moneter maupun fiscal.
Tapi rupanya, para ekonom mungkin lupa, bahwa dalam setiap pertumbuhan, juga menciptakan resiko kesenjangan sosial. Setiap satu orang bertambah kaya, maka akan muncul resiko orang lain bertambah miskin karena kekayaan orang lain. Semakin tinggi kenaikan harga, maka akan ada golongan masyarakat yang tidak mampu mengikuti kenaikan tersebut. Mereka inilah yang menjadi korban, pemiskinan secara sistematis. Sebagian orang melihat resiko itu, dan memilih menjadi PNS, pegawai swasta, termasuk buruh. Yang setinggi apapun rancangan target inflasi, akan diikutsertakan agar mampu mengikuti. Demi jalannya mesin pertumbuhan tadi: belanja.
Dan tidak satupun teori ekonomi kapitalis bisa memahami hal ini. Karena sistem ini menganggap bahwa manusia itu homo economic man yang selalu rasional, selalu mencari nilai ekonomis tertinggi, keuntungan sebesar-besarnya, untuk diri sendiri.. bukan untuk memahami kesenjangan sosial.
Memang apa dampaknya? Sejarah mencatat, tidak pernah ada perjuangan antar kelas yang berhasil membongkar struktur sosial yang ada. Mereka yang miskin tiba-tiba dengan pergerakan kemudian menjadi kaya, atau sebaliknya. Kalaupun ada pergerakan, maka yang terjadi sebenarnya adalah kelompok menengah dari golongan A, menggulingkan kelompok menengah lain, dan menjadi kelompok di atasnya. Sementara kelompok bawah yang diatasnamakan itu, akan senantiasa menjadi kelompok bawah. Jadi kita yang masuk kelompok menengah, apalagi atas, tenang saja.. tidak akan ada perubahan struktur radikal dari mereka.
Tapi sejarah juga mencatat, kelompok menengah atas yang bertindak sewenang-wenang itu, melupakan kelompok miskin, juga pernah dihukum dengan banyak cara. Binasa dengan penyakit, cobaan hidup, bencana alam, atau kriminalitas sosial, yang sudah semestinya terasa sangat berat buat mereka yang biasa hidup mewah dan tak kenal saudara sesama. Hukum logika sederhana, barangsiapa ‘merasa’ berada di tempat yang tinggi, maka jatuhnya pun akan ‘terasa’ jauh lebih menyakitkan.
Juga patut menjadi perhatian, bahwa mesin pertumbuhan ini tidaklah sustainable, karena bukan berasal dari factor utama/pendorong terjadinya kegiatan ekonomi, yaitu proses produksi. Karena produsen itu justru berasal dari luar negeri. Bahkan untuk komoditas-komoditas yang menyedihkan bagi negeri agraris ini. Seperti beras, buah, bahkan singkong! Apalagi komoditas lain yang terkait dengan jasa dan teknologi. Kita benar-benar dijadikan sapi perah di negeri sendiri, hasil kongkalikong pemerintah dengan korporasi lintas Negara.
Maka penting untuk disadari. Bahwa pertumbuhan ekonomi ini juga menyimpan resiko. Selain karena mesin pendorongnya yang bersifat konsumtif dan bukan produktif. Juga karena potensi kesenjangan sosial yang patut diwaspadai. Hitung menghitung ekonomi akan terasa sangat melelahkan, ketika satu masalah diatasi, masalah yang lain justru meradang. Upah buruh atau iklim investasi? Pertumbuhan ekonomi atau rasio gini (rasio pendapatan untuk mengukur kesenjangan)? GNP atau pemerataan kesejahteraan? Efisiensi perusahaan atau pengangguran?
Sudah saatnya, arah pembangunan ekonomi ini lebih dimanusiawikan. Bukan hanya soal angka. Bukan cuma soal infrastruktur. Bukan semata kemajuan teknologi. Kemajuan ilmu kesehatan terbaru menunjukkan, bahwa keberhasilan pengobatan justru bukan berasal dari kecanggihan teknologi, atau penemuan obat-obatan. Tapi dari memanusiakan manusia, dari perubahan gaya hidup.
Pertanyaannya, sampai kapan ilmu ekonomi di Indonesia hanya akan bercerita soal angka dan statistika? Semua itu kembali ke Negara sebagai pemangku sosial sebuah bangsa. Karena sebenarnya tujuan akhir dari ekonomi sangatlah sederhana, terpenuhinya kebutuhan pokok dari sumber daya terbatas untuk semua orang. Masih ingat, bukan?
read more: Cepat Naik Cepat Jatuh
--------------------------
Salam hangat dari
neilhoja. "Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu."