Bercerita tentang persoalan bangsa kita memang tak pernah ada habisnya. Hingga tak sedikit orang yang kemudian menjadi apatis karenanya. Jangankan berbuat sesuatu, berkorban apalagi membela bangsa ini dengan karya nyata, bahkan untuk sekedar melihat persoalan bangsa kita pun tak banyak orang yang mau memikirkannya. Sebagian bilang itu tak berguna, toh apa yang kita pikirkan tak akan mengubah apa-apa. Ada juga yang bilang, lebih baik mikirin diri sendiri, lebih kongkrit, yang penting kebutuhan hidup bisa kita penuhi. Ada lagi yang bilang, bangsa ini sudah terlalu sakit. Terlalu besar untuk menjadi sebuah negara!
Kompleksitas persoalan bangsa ini memang banyak yang mengakui. Atau menggerutui, mengeluhkan dan merasa desperate, putus asa. Mulai dari persoalan pertikaian antar kelompok agama, panggung sandiwara politik, penjajahan ekonomi oleh kapitalis, permainan kebutuhan pokok rakyat, hingga yang paling menyedihkan adalah kemandulan hukum yang serba tebang pilih. Masih teringat dalam benak penulis, seorang pencuri spion mobil, mati dikeroyok massa. Ya, satu nyawa untuk sebuah spion mobil. Sedangkan di sana, ratusan juta, miliaran, bahkan penilepan triliun dana negara, pelakunya cuma dikenakan hukuman penjara. Belum termasuk remisi-remisi hukuman pada momen tertentu!
Tentu masih terekam jelas dalam benak kita, nama seorang pegawai pajak yang jadi sangat terkenal hingga di jagad Youtube. Yupz, Gayus Tambunan. Namanya pertama kali disebut oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar tidak jelas. Salah satu yang jadi pertanyaan, mengapa hanya Gayus yang ditangkap? Dulu pernah santer diberitakan bahwa Gayus akan membongkar semua orang-orang yang terkait dengan penilepan pajak. Tapi nyatanya, cuma Gayus yang hingga saat ini jadi tumbal.
Setali tiga uang dengan kasus Gayus, Susno Duadji pun sempat akan membeberkan ‘kelakuan nakal’ para petinggi POLRI. Kasusnya sempat menghiasi headline-headline semua media massa. Tentu itu bukan sekedar kicauan sembarangan. Di dalamnya ia berkoar akan membongkar semua borok-borok Jendral di tubuh POLRI, mempermainkan kasus demi uang, memeras pengusaha, dan memelihara budaya setoran dari anak buah. Maka timbullah pertanyaan, POLRI, melindungi dan melayani siapa? Istilah Markus, alias makelar kasus pun menambah ‘entri’ baru dalam kamus bahasa kita.
Ini baru dari bidang pajak dan penegak hukum. Belum lagi kasus lumpur Lapindo yang sangat menyakitkan. Ganti rugi yang hingga kini masih jadi mimpi di siang bolong. Lapindo, adalah sebuah kasus permainan dan kongkalikong pemerintah dengan Bakrie. Benar bahwa Lapindo terbukti tidak bersalah karena sesuai dengan aturan pemerintah. Akan tetapi, aturannya itu yang memang dibuat supaya Lapindo tidak bersalah! Tak heran bila kemudian pengadilan memenangkan Lapindo.
Kasus penjajahan ekonomi oleh TNC (Trans National Company), perusahaan multinasional. Perusahaan yang mengeruk kekayaan alam negeri ini, dan meninggalkannya dengan sedikit cipratan. Sedikit untuk rakyat daerah dan sedikit untuk pejabat! Dengan dalih belum menguasai teknologi, pemerintah membuat kontrak pengurasan kekayaan negara hingga 30 tahun. Itu pun masih bisa diperpanjang lagi!
Sistemik, kata temen penulis. Dimulai dari para pembuat kebijakan, hingga kelompok masyarakat terendah turut berperan. Apa mau dikata, keboborokan pemerintah kita mengatur negara ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari akumulasi sikap kita sehari-hari. Berapa banyak dari kita yang sudah bekerja keras, berfikir keras dan bersabar keras?? Kalau baru ditempa dengan ujian di Azhar aja kita udah sering mengeluh, bagaimana kita akan menghadapi kompleksnya persoalan bangsa ini?
Sekali lagi kata temen penulis, mental asal menyalahkan penguasa adalah mental bawahan. Segala sesuatu hanya ia gantungkan kepada mereka yang ada di atasnya. Kalau ada yang gak beres, maka pemerintah yang salah. Tanpa pernah melihat apalagi berbuat untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Katanya, wajar. Ini karena kita dijajah, dan terbiasa menjadi bangsa jajahan. Sebelum dijajah Belanda, bangsa ini adalah bangsa pelayan di bawah ketiak kerajaan.
Mission impossible.
Begitu sebut penulis suatu waktu. Sebuah pernyataan yang sama, setiap kali selesai mendiskusikan ragam persoalan bangsa ini. Mulai dari kaburnya para ilmuwan kita. Penanganan industri strategis yang hanya memihak asing. Hingga masa depan suram, generasi penerus bangsa ini.
Hingga hari itu datang. Saat di mana penulis melihat wajah-wajah saudara dekat. Melihat semangat yang sama. Merasakan gelora dan optimisme yang tak pernah padam. Dan setruman-setruman baru dari mereka yang kita cintai. Ya, sebuah momen di sebuah tempat yang prestisius. Dengan wacana prestisius. Dan diisi oleh orang-orang prestius!
Harapan itu masih ada. Gedung Bhinneka, KBRI Cairo, Garden City. Dalam sebuah bingkai cerita sejarah, Konferensi Internasional IKPM.
Ust. Akrim menyebutnya, membangun bangsa ini terlihat jalan di tempat. Tak lain karena, saat yang lain mencoba membangun salah satu bagiannya, di saat yang sama, muncul orang lain menghancurkannya. Maka bagaimana mungkin bangunan itu akan berdiri? Memang sulit, kata beliau, dan memang sulit. Kita tidak bisa membangunnya sendirian. Kita harus bersama-sama, sinergis, dan simultan!
Perjalanan itu masih sangat panjang.. akan tetapi, tak pernah ada yang tak mungkin di alam mumkinat ini. Bukankah kita meyakini, bahwa “La yajibu ala Allahi fil mumkinat?”. La haula wala quwwata illa billahi. Teruslah berjalan Kawan, meski onak duri melukai kakimu. Teruslah bekerja, meski berulang kali bangunanmu mereka hancurkan. Dan teruslah berjuang, meski keringatmu telah menjadi darah.
Sejauh apapun jalan itu, ingatlah selalu, bahwa Allah tak kan pernah melupakan balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu.
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Silaturahim Internasional IKPM Edisi Perdana Juli 2011.
Download buletinnya di 4shared.com
--------------------------
Salam hangat dari neilhoja. "Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu."