Selasa, Oktober 28, 2014

Pelankan Sedikit Langkahmu

Seberapa sering kita lewat sebuah jalan, tapi hanya sedikit yang bisa kita tangkap? Baik lewat mata, pendengaran, atau bahkan hati?

Manusia-manusia di abad ini memang benar-benar dipaksa untuk berpacu dengan waktu. Tanpa sadar, atau sadar tapi tak bisa berbuat apapun untuk melawan .. kita sudah terjebak dalam dunia kapitalis. Salah satu cirinya adalah individualistik.. dan rekayasa waktu  agar begitu cepat berlalu.

Aku memang sempat merasakannya. Karena terlalu sering aku sadar lingkungan sekitar, setelah sedikit memelankan laju kendaraan.

Dan seperti juga malam itu sepulang dari Kampung Rambutan. Aku naik busway, karena terlanjur beli e-money dari BCA, sepekan sebelumnya. Tidak terlalu lama, karena bus mengambil rute tol langsung ke UKI Cawang, tanpa Kramat Jati yang sudah pasti sibuk dan padat minta ampun.

Sesampai di halte Salemba UI aku turun, berjalan menyusuri jembatan penyeberangan. Sebelum belokan terakhir, duduk di depanku seorang dhuafa. Laki-laki. Tak terlalu nampak di bawah keremangan malam. Sempat terjadi perang batin. Tapi ah, biarlah jadi rezekinya. Terlepas ia pantas atau tidak.

Sampai di bawah, tiba-tiba aku tersenyum.. melihat papan besar sebuah gedung. Bukan papan nya memang yang menarik sungging senyumku. Tapi terbayang aku yang dulu. Saat ditanya, UPI YAI tahu?
Aku menggeleng. Dan setelah sekian tahun aku di Jakarta.. aku baru sadar, bahwa gedung universitas itu setiap saat ada di samping mataku. Aku tak pernah melihatnya, meski tiap hari aku lewat di depannya.

Ah, betapa dudulz nya..

Tapi, benar bahwa UPI YAI tak begitu penting buatku. Cerita di atas pun, ga ada perlu-perlu nya sama sekali..

Hanya saja, kejadian di atas kembali memberiku pelajaran. Tentang sadar lingkungan sekitar.. tentang kepedulian. Tentang dahsyat nya, individualistik dalam diri.

Mungkin bisa menjadi jawaban, mengapa setiap kita selesai sholat, tapi hanya sedikit kedekatan kepada Allah yang kita dapat.

Seusai Ramadhan, justru gegap gempita bangga dan senang.. bukan semakin terenyuh akan penderitaan mereka yang papa..

Dan atau saat kita bekerja.. mengeksploitasi rejeki kehidupan, tapi hanya sedikit yang kita rasakan.. tentang sulitnya hidup bagi mereka yang termarginalkan oleh kerakusan kita..

Sebelum terlambat.. saat kita sudah tak ada waktu lagi untuk berbuat, .. pelankanlah sejenak laju kecepatan hidup kita. Mari kita nikmati drama kehidupan di sekitar kita. Rasakan dan selami, potret manusia-manusia dan ayat Allah di sekeliling kita.

Agar sesekali, hidup kita bisa lebih bermakna. Karena sesungguhnya, makna hidup seorang manusia terletak pada seberapa banyak manfaat yang bisa orang lain ambil, dari perbuatan kita. Bukan sebaliknya.

Sadarkah, bahwa setiap rupiah yang kita dapatkan.. akan selalu jadi beban dan pertanyaan nanti di Yaumil Hisab? Sementara setiap rupiah yang kita sedekahkan, akan jadi tabungan kelak kita di surga.

Sungguh benar nasehat lampau yang sering kita dengar dalam pengajian. Hartamu, adalah apa yang engkau sedekahkan. Bukan yang engkau simpan.