Sabtu, November 22, 2014

Order within Chaos

Saat apa yang engkau lihat, tak seperti apa yang ada.

Manusia dengan logika nya berusaha menakar masa depan. Dan mencoba menafikan perasaan.. membunuh nya.

Karena perasaan tak mampu menebak masa depan, maka ia pun seringkali diabaikan oleh banyak orang..

Sebuah film, interstellar, alias antar bintang-bintang.. menyajikan drama kebalikannya.

Saat tokohnya, Cooper dihadapkan pada pilihan sulit.. bahan bakar menipis dan hanya cukup untuk berkunjung ke salah satu dari dua planet. Planet Dr. Mann atau planet Edmunds.

Cooper sebagai kapten, mengajak berdiskusi awaknya. Brand, memilih planet Edmunds. Tapi Cooper menolaknya. Selain alasan logis bahwa planet Dr. Mann laporannya lebih menjanjikan, juga karena menurut Cooper, Brand jatuh cinta pada Edmunds. Sehingga tak lagi obyektif dan bias.

Singkat cerita, Cooper pun mendatangi planet Dr Mann dan mengabaikan usulan Brand. Tak disangka, ternyata laporan Dr Mann adalah palsu, dia hanya ingin dikunjungi dan diselamatkan..

Dan di akhir cerita, terungkap bahwa planet Edmunds adalah planet yang seharusnya mereka pilih.

Tentu saja, sebuah film tak layak dijadikan argumen. Apalagi untuk mematahkan teori kekuatan logika untuk menakar masa depan.

Tapi di sini aku coba menunjukkan bahwa pun logika, tak sepenuhnya mutlak mampu menebak masa depan. Kata David Hume, masa depan ditakar hanya karena probabilitas nya yang lebih besar. Atau menurut pengamatan Heisenberg.. justru bagian terkecil alam, atom, justru bekerja secara acak.. chaos.

Lantas pertanyaan nya, kepada apa kita gantungkan masa depan? Logika ataukah perasaan..

Di tengah kebingungan hidup, sahabat ku mengingatkan dalam tulisannya.. Order within Chaos.

Bahwa menjalani ketidak-aturan hidup, sesungguhnya ia berada dalam keteraturan.. hidup adalah chaos dalam perspektif manusia. Tapi sesungguhnya ia adalah pasti di tangan Allah.

Saat kita begitu kehilangan arah, goncang dalam pijakan, sangat buram menatap kehidupan.. saat itulah iman kita diuji. Rendah kan ego, kesombongan, bahwa manusia tak berarti apa-apa. Gusti Allah berfirman,

الم. احسب الناس ان يتركوا ان يقولوا آمنا وهم لا يفتنون..

So, keep calm and trust Allah. Percayalah tak ada yang sia-sia, apapun nanti hasil akhir dari apa yang sudah kita putuskan.. jika semua yang kita lakukan itu adalah karena Allah semata.

Namun jangan lupa tuk berdoa, tundukkan hati, dan lirihkan suara mu dalam sujud..

Semoga Allah swt., memberi kita akhir yang baik dan indah. Sebagaimana Engkau ya Allah, ciptakan makhluk Mu indah dan sempurna.

ربنا آتنا من لدنك رحمة وهيء لنا من امرنا رشدا..

Wallahu a'lamu bishshowab.

Selasa, November 11, 2014

Salah Paham

Mari kita mulai dengan sebuah adegan dalam film. Judulnya "People Like Us".

Seorang ibu, bernama Frankie, terpaksa menghadap kepala sekolah tempat anaknya belajar. Sang anak didakwa telah merusak kolam renang sekolah. Ia pun diancam akan dikeluarkan dari sekolah.
Tapi sang ibu tak terima. Ia pun memulai argumen nya dengan pertanyaan menjebak, "dari mana anakku mendapatkan asam sulfat tersebut?"

Frankie, si ibu tersebut akhirnya berhasil balik menuntut kepala sekolah, karena dianggap tidak becus menjaga barang berbahaya tersebut dari jangkauan anak-anak. Walhasil sang kepala sekolah menyerah, dan memberi kesempatan kedua untuk putra Frankie tadi..

Spontan aku berkomentar, "itulah politik."

Pikiran ku kemudian melayang pada drama politik negeri ini yang tak kunjung usai. Atau sebenarnya banyak perseteruan lain sebelumnya. Sebut saja, perbedaan harakah, pergerakan, dakwah, jamaah, ormas, atau apapun lah.. yang sudah ada sebelum isu politik jadi dagangan laris tahun ini.

Antara kubu koalisi KMP dan KIH yang sedang ramai, berebut kuasa dan legitimasi dalam parlemen.
Saling sikut, menjatuhkan, atau menurut kacamata mereka, menjadi penyeimbang.. check and balance, katanya.

Pada akhirnya memang sebuah konflik dan perseteruan tak pernah hadir kecuali berawal dari dua hal: salah paham, atau niat buruk.

Dua hal tersebut harus ada di masing-masing pihak. Karena bila hanya ada satu saja.. maka konflik tak kan pernah bertahan lama.

Maka sesungguhnya, untuk mengakhiri sebuah konflik.. cukup memilih salah satu hal: berusaha tuk mengerti, atau perbaiki niat kita.

Saya teringat dengan sebuah kata bijak, "Ada begitu banyak hal yang dapat menyatukan kita.. dan sangat terlalu sedikit hal yang membuat kita pantas berpisah."

Bukankah itu sudah dibuktikan bangsa ini sejak berabad lamanya? Sejak sebelum tahun 1928?
Maka.. di tengah begitu banyak perbedaan dalam umat ini.. atau bangsa ini.. atau perbedaan kita, sungguh aku tak pernah risau.

Karena aku masih percaya, perbedaan itu hanya karena kita kurang saling memahami.. dan sangat sedikit yang punya niat buruk di negeri ini.

Jales veva jaya mahe. Jayalah engkau di lautan.. begitu kata mading Iqro, di kantor kami.

Selasa, Oktober 28, 2014

Pelankan Sedikit Langkahmu

Seberapa sering kita lewat sebuah jalan, tapi hanya sedikit yang bisa kita tangkap? Baik lewat mata, pendengaran, atau bahkan hati?

Manusia-manusia di abad ini memang benar-benar dipaksa untuk berpacu dengan waktu. Tanpa sadar, atau sadar tapi tak bisa berbuat apapun untuk melawan .. kita sudah terjebak dalam dunia kapitalis. Salah satu cirinya adalah individualistik.. dan rekayasa waktu  agar begitu cepat berlalu.

Aku memang sempat merasakannya. Karena terlalu sering aku sadar lingkungan sekitar, setelah sedikit memelankan laju kendaraan.

Dan seperti juga malam itu sepulang dari Kampung Rambutan. Aku naik busway, karena terlanjur beli e-money dari BCA, sepekan sebelumnya. Tidak terlalu lama, karena bus mengambil rute tol langsung ke UKI Cawang, tanpa Kramat Jati yang sudah pasti sibuk dan padat minta ampun.

Sesampai di halte Salemba UI aku turun, berjalan menyusuri jembatan penyeberangan. Sebelum belokan terakhir, duduk di depanku seorang dhuafa. Laki-laki. Tak terlalu nampak di bawah keremangan malam. Sempat terjadi perang batin. Tapi ah, biarlah jadi rezekinya. Terlepas ia pantas atau tidak.

Sampai di bawah, tiba-tiba aku tersenyum.. melihat papan besar sebuah gedung. Bukan papan nya memang yang menarik sungging senyumku. Tapi terbayang aku yang dulu. Saat ditanya, UPI YAI tahu?
Aku menggeleng. Dan setelah sekian tahun aku di Jakarta.. aku baru sadar, bahwa gedung universitas itu setiap saat ada di samping mataku. Aku tak pernah melihatnya, meski tiap hari aku lewat di depannya.

Ah, betapa dudulz nya..

Tapi, benar bahwa UPI YAI tak begitu penting buatku. Cerita di atas pun, ga ada perlu-perlu nya sama sekali..

Hanya saja, kejadian di atas kembali memberiku pelajaran. Tentang sadar lingkungan sekitar.. tentang kepedulian. Tentang dahsyat nya, individualistik dalam diri.

Mungkin bisa menjadi jawaban, mengapa setiap kita selesai sholat, tapi hanya sedikit kedekatan kepada Allah yang kita dapat.

Seusai Ramadhan, justru gegap gempita bangga dan senang.. bukan semakin terenyuh akan penderitaan mereka yang papa..

Dan atau saat kita bekerja.. mengeksploitasi rejeki kehidupan, tapi hanya sedikit yang kita rasakan.. tentang sulitnya hidup bagi mereka yang termarginalkan oleh kerakusan kita..

Sebelum terlambat.. saat kita sudah tak ada waktu lagi untuk berbuat, .. pelankanlah sejenak laju kecepatan hidup kita. Mari kita nikmati drama kehidupan di sekitar kita. Rasakan dan selami, potret manusia-manusia dan ayat Allah di sekeliling kita.

Agar sesekali, hidup kita bisa lebih bermakna. Karena sesungguhnya, makna hidup seorang manusia terletak pada seberapa banyak manfaat yang bisa orang lain ambil, dari perbuatan kita. Bukan sebaliknya.

Sadarkah, bahwa setiap rupiah yang kita dapatkan.. akan selalu jadi beban dan pertanyaan nanti di Yaumil Hisab? Sementara setiap rupiah yang kita sedekahkan, akan jadi tabungan kelak kita di surga.

Sungguh benar nasehat lampau yang sering kita dengar dalam pengajian. Hartamu, adalah apa yang engkau sedekahkan. Bukan yang engkau simpan.

Senin, Januari 27, 2014

Pada Siapa Ku Bertanya

saat apa yang kau lihat dengan mata
ternyata tak sama..

saat yang kau baca dengan akal
tak lagi nyata..

pun saat apa yang kau dengar dari telinga,
rupanya tak tunjukkan arti kejujuran..

langkah kaki pun goyah
mata mulai rabun, ragu tuk melangkah

tanganmu gagal meraih pegangan
kakimu hilang pijakan.

pada siapa aku harus bertanya?



--------------------------
Salam hangat dari neilhoja. "Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu."