Kamis, April 11, 2013

Urgensi Menganut Satu Mazhab

oleh: Arief Assoffi
Pegiat Kajian Nun Center Kairo

Bermazhab satu, pada asalnya tidak penting bagi orang awam. Bahkan jika orang awam diharuskan untuk berpegang pada satu mazhab tertentu, ini akan menyulitkan mereka. Karena mereka harus mencari pendapat paling rajih dalam mazhabnya, padahal mereka tidak ahli dalam hal itu. Atau, minimal mereka harus mencari mufti yang semazhab dengannya.

Walaupun berpegang teguh pada satu mazhab tertentu tidak wajib bagi orang awam, namun hal tersebut merupakan suatu kebutuhan bagi seorang penuntut ilmu, Fikih khususnya, untuk mencapai derajat mujtahid. Karena itulah, tidak kita temukan satu ulama pun yang tidak bermazhab.

Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Ibnul Qoyyim: “Tidak layak bagi orang awam untuk bermazhab. Sesungguhnya mazhab hanyalah diperuntukkan bagi para akademisi.” Pernyataan ini juga diamini oleh Yusuf Qaradhawi. Menurut Qaradhawi, pada hakikatnya bermazhab hanyalah untuk para Ahlu al-‘Ilm yang memilih salah satu mazhab atas dasar kebutuhan intelektual, berkenaan dengan kekuatan usul mazhab dalam pandangannya dan lain-lain.[i] Meskipun demikian, -tegas Qaradhawi- “Tidak ada salahnya bagi orang awam, jika ingin menganut satu mazhab tertentu”.[ii]

Jika menganut satu mazhab tertentu merupakan suatu keharusan bagi para akademisi, lantas apa urgensi bermazhab bagi para akademisi? Bukankah mencari pendapat paling rajih dari berbagai pendapat lebih baik dari pada menganut satu mazhab yang terkadang memiliki pendapat dengan alasan yang lemah?

Perlu diingat bahwa Fikih mazhab adalah hasil dari pengolahan teks-teks agama dengan metode pengambilan hukum yang dimiliki oleh setiap mazhab.[iii] Metode ini bukanlah suatu teori buat-buatan para imam mazhab. Akan tetapi, metode ini merupakan singkapan sebuah cara untuk mencari kebenaran dalam hukum syariat melalui kaedah-kaedah umum yang menuntun cara berpikir para mujtahid dan memberikan batasan-batasan sehingga dapat mencapai pada suatu hukum tertentu.[iv] Metode ini mereka intisarikan dari apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka dan guru-guru mereka dari guru-gurunya lagi sampai kepada Rasulullah SAW.

Dengan tersingkapnya metode ini, para ulama setelah abad ke-3 tidak menemukan lagi apa yang perlu mereka singkap dari metode pengambilan hukum ini. Kalau pun mereka mencoba untuk menyingkapnya, mereka akan menemukan hasil yang sama dengan para pendahulunya. Dengan demikian, tidak ada jalan lain kecuali dengan berjalan di jalan para imam dalam mengambil hukum syariat. Maka dari itu, apa yang mereka lakukan dari mengikuti jalan para imam sebelumnya dalam metode pengambilan hukum tidak dapat dikatakan jumud atau fanatik. Karena memang mereka tidak menemukan jalan lain selain jalan yang dibuka oleh para imam sebelumnya. Mereka hanya terlambat muncul ke muka bumi ini. Kalaulah al-Ghazali atau al-Nawawi, misalnya, muncul sebelum Imam Syafi’i, pastinya mereka akan lebih dahulu menyingkap metode ini.[v]

Oleh karena itu, ijtihad setelah abad ke-3 sudah bukan lagi ijtihad menyingkap metode pengambilan hukum. Akan tetapi ijtihad dalam menghasilkan hukum baru dengan metode yang telah tersingkap sebelumnya atau merajihkan antar hasil-hasil ijtihad yang berbeda sebelumnya.[vi] Dengan demikian, seorang pelajar Fikih mau tidak mau harus masuk ke dalam salah satu mazhab Fikih, sebagai madrasah yang usul, furuk dan kaedahnya telah dibangun oleh arsitektur-arsitektur handal dalam pengambilan hukum, untuk selanjutnya beranjak ke tingkat mujtahid yang lebih tinggi.

Selain itu, terdapat beberapa poin yang menjadikan menganut satu mazhab itu penting bagi para akademisi:[vii]

1. Bersanad (musannadah)

Salah satu keistimewaan bermazhab adalah sanad yang bersambung ke Rasulullah SAW dari awal munculnya sampai saat ini. Sebagaimana imam mazhab mempunyai sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW, para pengikutnya pun mempelajarinya dengan tetap menjaga sanad ini sampai sekarang. Dengan bersambungnya sanad ini, bersambung pula pemahaman para ulama dalam agama ini sebagaimana yang Rasulullah SAW ajarkan.[viii] Memang sudah sepantasnya bagi para ulama yang notabene ahli waris para nabi, memiliki garis hubungan dengan para pewarisnya. Dengan terjaganya sanad ini, terjaga pula otentisitas pemahamannya terhadap syariat.

2. Mendapat dedikasi penuh dari para ulama terdahulu hingga sekarang (makhdûmah)

Selain sanad, keistimewaan mazhab lainnya adalah perhatian penuh para ulama terhadap mazhab masing-masing. Tingginya dedikasi para ulama terhadap mazhab ini dapat kita lihat dari buku-buku yang mereka tulis tentang fikih mazhab, usul fikih dan kaedahnya dalam berbagai bentuk, seperti ringkasan (mukhtashar), penjelasan (syarh), catatan pinggir (hâsyiyah), sya’ir (nazhm), dan lain-lain. Tidak hanya itu, pendapat-pendapat para pendahulunya juga dikritisi, diperbaiki, dan diperjelas.

3. Tidak lepas dari dalil naqliy maupun ‘aqliy (mudallalah)

Pendapat-pendapat yang ada dalam buku-buku mazhab tidak lepas dari dalil naqliy maupun ‘aqliy, bahkan para imam mazhab pun memiliki musnad[ix] masing-masing.

4. Setiap mazhab memiliki usul fikih serta kaedah tersendiri dalam menentukan hukum (mu`asshalah wa muqa’’adah)

Jika tidak bermazhab, seseorang akan sulit mencapai derajat mujtahid. Karena ia tidak akan menemukan usul fikih, dan kaedah fikih yang praktiknya sesuai dengan furuk fikih kecuali dengan menganut satu mazhab. Mempelajari praktik penerapan usul fikih dan kaedah fikih pada fikih mazhab inilah yang akan mengantarkan seseorang mulai dari mukalid menuju derajat mujtahid paling rendah, hingga mencapai derajat mujtahid tertinggi. Dan hal ini mudah dicapai dengan menganut satu mazhab.

5. Metode pembelajaran buku-buku madzhab bertahap (mumanhajah)

Pada awal perjalanan seorang penuntut ilmu, tidak dibenarkan untuk sibuk dengan berbagai perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan, sibuk dalam berbagai perbedaan pendapat akan membuat pelajaran sulit melekat. Selain itu, pada awal perjalanannya seorang penuntut ilmu juga tidak diperkenankan untuk sibuk mentelaah buku-buku dengan pembahasan rumit.

Di awal perjalanannya, yang dibutuhkan oleh seorang penuntut ilmu adalah menguasai pembahasan-pembahasan kecil yang nampak sepele, tetapi akan menjadi landasan dalam memahami pebahasan-pembahasan besar nantinya. Karena pembahasan-pembahasan kecil ini, akan menjadi pondasi. Jika ia tidak menguasainya, maka akan mudah roboh.

Karena itulah, para ulama telah memformulasikan sistem pembelajaran mazhab ini dengan mengarang buku-buku yang digunakan oleh para pemula, kemudian untuk intermediate dan, para ahli. Sistem pembelajaran mazhab dibuat sedimikian rupa, sehingga dapat mencetak mujtahid-mujtahid yang mempunyai pemahaman yang mendalam dan melekat.

Ahmad bin Alwi Assegaf, dalam Fawâ`id al-Makkiyah, menjelaskan bahwa ada tiga tingkat ketangkasan (malakah) yang perlu dicapai oleh penuntut ilmu secara bertahap: yang pertama adalah ketangkasan perolehan (malakah al-istihshâl), yaitu ketangkasan yang dicapai sebagai persiapan untuk mencapai ketangkasan selanjutnya. Ketangkasan ini diperoleh dengan mempelajari mukaddimah-mukaddimah ilmu tersebut dari seorang guru ahli,[x] seperti mempelajari buku-buku yang menyajikan matan-matan pendek dalam ilmu fikih dan lain sebagainya.

Kedua, ketangkasan pemantapan (malakah al-istikhrâj), yaitu mencapai kemampuan memahami makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang terdapat di dalam berbagai buku dengan mudah. Ketangkasan ini diperoleh dengan memperbanyak membaca buku-buku fikih, dimulai dari buku-buku yang sedang hingga buku-buku yang berjilid-jilid.

Setelah melewati kedua tingkat ketangkasan di atas, seorang pembelajar akan mencapai tingkat ketangkasan yang terakhir yaitu ketangkasan paripurna (malakah al-istihdhâr), yaitu saat penuntut ilmu mampu menjawab permasalahan yang diajukan tanpa harus merujuk ke buku-buku lagi.[xi]

Ketiga tingkat ketangkasan di atas sulit untuk dicapai kecuali diawali dengan menganut satu mazhab. Karena setiap mazhab mempunyai istilah dan hukum yang berbeda. Jika kita memulainya dengan Mazhab Syafi’i misalnya, kemudian di tingkatan kedua kita masuk ke dalam Mazhab Maliki, maka kita akan dapatkan 2 perkara yang sama dengan hukum yang berbeda. Dengan cara seperti ini, ketangkasan akan sulit tercapai.[xii]

 6. Hasil ijtihad dalam setiap mazhab akan selalu konsisten dengan usul dan kaedahnya (muttasiqah wa muttazinah)

Semua pendapat yang terdapat dalam mazhab tidak akan keluar dari usul dan kaedah mazhab, sehingga konsistensi kolaborasi antara usul, fikih, dan kaedahnya terjaga dan tidak bercampur dengan mazhab lain.

7. Berpotensi untuk menjadi landasan dalam menghukumi perkara-perkara baru (munfatihah)

Furuk-furuk mazhab dapat menjadi landasan dalam menghukumi perkara-perkara baru. Jika kita menengok pada berbagai pembahasan dalam fikih kontemporer, kita akan mendapati furuk-furuk mazhab menjadi landasan dalam menghukuminya.

Berbagai keutamaan di atas tidak akan kita dapati kecuali pembelajaran dengan bermazhab. Maka dari itu wajar jika Al-Yafi’i memperumpamakan seorang penuntut ilmu yang tidak bermazhab bagaikan orang yang ditunjukkan kepadanya istana yang kokoh nan megah[xiii], yang dibangun oleh arsitektur handal[xiv]. Kemudian dikatakan kepadanya: “Masuklah! Berkelilinglah! Dan nikmatilah keindahannya![xv] Dia pun menjawab: “Tidak! Aku tidak akan masuk, tapi aku akan membangun istanaku sendiri.”[xvi] Akhirnya dia pun menyiksa dirinya sendiri dengan membangun sebuah bangunan, padahal dia tidak berpengalaman apalagi pandai dalam hal itu. Sehingga yang jadi bukannya istana tapi hanyalah sebuah gubuk reot, hanya saja dia menghiasinya dengan hiasan yang menipu. Tidak cukup sampai di situ, ia pun mengajak khalayak ramai untuk masuk ke gubuknya, lantas melarang mereka untuk memasuki istana, seolah berkata: “Gubukku lebih baik dari istana itu.”[xvii]


______________________________________________________

[i] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, (Kairo: Wahbah, 2004), hal. 82.

[ii] Ibid., hal. 83.

[iii] Musthafa Bisriy al-Tharablisiy, Manhaj al-Bahts wa al-Fatwa fî al-Fiqh al-Islâmiy, (Amman: Dar al-Fath, 2011), cetakan II, hal. 171.

[iv] Ibid. hal. 66.

[v] Ibid. hal. 173.

[vi] Ibid. hal. 177.

[vii] Terilhami dari Workshop Syekh ‘Amud dengan tema “Pengenalan Ilmu Fikih” bersama Dr. Amru Wardani.

[viii] Contoh sanad yang diperoleh Mufti Agung Ali Jum’ah: dari Abdullah bin Sidiq al-Ghumari, dari Duwaidar al-Kafrawi, dari Ibrahim al-Bajuri, dari Amir, dari al-Sha’idi, dari ‘Aqilah, dari Hasan al-‘Ajimi, dari al-Qassyasyi, dari Muhammad al-Ramli, dari Zakaria al-Anshari, dari Ibnu Hajar al-Haitami, dari Shalah bin Abu Umar, al-Fakhr bin al-Bukhari, dari Ahmad bin Muhammad al-Lubban, dari Muhammad bin Ahmad al-Shaidalani, dari Abu Hasan bin Ahmad al-Haddad, dari Ahmad bin Abdullah al-Ashbahani, Muhammad bin Ya’qub al-Asham, dari Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, dari Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Lihat, Ali Jum’ah, al-Madkhal ilâ Dirâsah al-Madzâhib al-Fiqhiyah, (Kairo: Darussalam, 2009),  hal. 249.

[ix] Kumpulan hadis-hadis, seperti Musnad Abu Hanifah, Muwatha` Imam Mali, Musnad al-Syafi’i dan Musnad Imam Ahmad.

[x] Ahmad bin Alwi Assegaf, Fawâ`id al-Makkiyah, (Kairo: Darul Faruq, 2011), hal 93.

[xi] Ibid., hal. 93.

[xii] Contohnya dalam Fikih Mazhab Syafi’i. Para ulama Syafi’iyah membagi tiga tingkatan (ada juga yang empat) untuk buku-buku yang dipelajari oleh para penuntut ilmu. Di awal pembelajarannya, seorang penuntut ilmu dianjurkan untuk mempelajari buku Fathu al-Qarîb al-Mujîb, kemudian dilanjutkan dengan Manzhûmah al-Zubad, dan selanjutnya mempelajari buku-buku yang berjilid-jilid, seperti Syarh Minhâj al-Thâlibîn dan lain-lain. Tingkatan-tingkatan buku ini dapat ditemukan di buku-buku pengenalan mazhab, seperti Madkhal ilâ Madzhab al-Imâm al-Syâfi’î karya Saleh al-Asmari.

[xiii] Yang dimaksud istana di sini adalah mazhab.

[xiv] Yang dimaksud dengan arsitektur di sini adalah para imam mazhab.

[xv] Yang dimaksud di sini adalah mempelajarinya.

[xvi]“ Membangun istana sendiri” maksudnya adalah tidak bermazhab alias membuat mazhab baru dengan usul, furuk dan kaedah yang ia susun sendiri.

[xvii] Abdul Fatah bin Saleh al-Yafi’i, al-Tamadzhub, (Beirut: Muassasah Risalah Nasyirun, 2009), hal. 323.
--------------------------
Salam hangat dari neilhoja. "Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu."