Jumat, Februari 22, 2013

Dewan Perwakilan Rakyat

“entah rakyat mana yang mereka wakili”
Penulis ingin membuka tulisan ini dengan sebuah anekdot. Suatu ketika, di sebuah ruang kelas salah satu sekolah dasar, seorang guru bercerita tentang kisah naik pesawat. Sang ibu guru itu pun kemudian bertanya kepada para muridnya.

“Anak-anak.. jika sebuah pesawat tempur dengan satu pilot jatuh, berapa orang yang mungkin akan selamat?”
“Satu orang Bu…”
“Pinter.. nah sekarang, jika sebuah pesawat komersil dengan 500 anggota DPR jatuh, berapa orang yang akan selamat?”
“250 juta rakyat Indonesia, Bu!”

Tentu saja, kisah di atas tidak terjadi di dunia nyata. Tapi kisah di atas, sedikit bisa menggambarkan, bagaimana citra anggota DPR di mata rakyat Indonesia, bila tidak keseluruhan – karena gak semua rakyat Indonesia mau mikirin politik – boleh dikatakan sebagian besar dari kita setuju dengan buruknya citra anggota terhormat kita itu.

Di sini penulis tidak akan menambah-nambahi buruknya mereka. Justru penulis ingin mengajak, bahwa seburuk apapun sebuah instansi, atau pegawai di dalamnya, suatu saat mereka bisa berubah. Ingat hukum alam atau sunnatullah di dunia, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.. dan semuanya bersifat dinamis, bisa berubah, karena inilah sifat dasar dari makhluk yang fana.

Maka mari kita cermati masalah yang sering muncul dengan beberapa alternative solusinya. Ada dua persoalan utama DPR. Yang pertama adalah korupsi. Baru-baru ini ditemukan lagi dugaan korupsi Bantuan Sosial oleh Badan Kehormatan DPR. Dan beberapa hari sebelumnya, terungkap dalam diskusi di Mata Najwa, soal Cari Uang Cara Partai. Memang bisa dimaklumi logikanya, ketika anggota DPR itu korupsi. Karena secara sistematis, mereka dituntut oleh partai mereka, untuk mencari bensin bagi mesin politik. Dan karena partai bukanlah atau tidak memiliki badan usaha, maka dari mana mereka cari uang?

Mahar politik dan sumbangan kader. Satu yang jadi pertanyaan adalah, tidak ada mekanisme yang mengatur, agar partai menyelidiki terlebih dahulu sumber dana keduanya, baik dari mahar politik maupun sumbangan kader. Partai tidak mau tahu, yang penting tahu jumlah yang diterima. Tentu sebuah sikap yang tidak pantas dilakukan partai sebagai anggota terhormat dunia politik.

Solusinya? Sumber dana partai diubah. Seperti misalkan, partai boleh memiliki badan usaha. Tapi dengan catatan, badan usaha ini tidak boleh berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Kemudian sumbangan pemerintah diperbesar. Karena sumbangan ini sangat diawasi oleh BPK, sehingga secara otomatis, semua rupiahnya bisa dilacak dan dipertanggungjawabkan.

Dan kedua, dengan melakukan audit dan pelaporan terbuka, baik jumlah dana yang diperolah partai juga asal sumber dananya. Baik itu dari mahar politik, badan usaha, sumbangan pemerintah, maupun sumbangan kader.

Persoalan kedua terkait kekuasaan partai yang begitu besar. Sebegitu besarnya bahkan sampai mengebiri seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, alias Presiden. Contoh yang paling rame adalah, tertundanya anggaran 2013 Jokowi oleh DPRD DKI Jakarta. Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa presiden Indonesia saat ini, sangat membutuhkan dukungan DPR untuk membantu mengawal segala kebijakan pemerintah. Artinya, tanpa persetujuan DPR, ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh seorang kepala pemerintahan kita.

Padahal kita semua tahu, demokrasi itu identik dengan desentralisasi kekuasaan, yang digambarkan oleh Lord dengan “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” Demokrasi mencoba menjadi alternative bagi sistem sentralisasi kekuasaan dalam kerajaan, yang distigma oleh dunia Barat dengan diktatorisme. Tapi faktanya, justru demokrasi menjadi dictator baru yang menjadikan partai atau parlemen adalah penguasanya. Presiden dilucuti oleh parlemen, tapi justru mahkotanya dipakai bareng-bareng oleh parlemen. Ironis!

Solusi? Check and balance.

Kita hidup di sebuah dunia yang tidak lagi ada manusia suci seperti Nabi atau Rasulullah. Maka sudah barang tentu, sulit bagi kita untuk bergantung penuh kepada satu orang saja. Bahkan dalam urusan dunia, dicontohkan oleh Rasulullah, beliau bermusyawarah, meminta nasehat kepada para sahabatnya. Itu seorang Nabi, apalagi kita? Tentu sangat arogan dan sombong bila mengaku pintar sendiri dan tidak membutuhkan check and balance dari pihak lain. Begitu pula dengan parlemen kita, Dewan Perwakilan Rakyat.

Beberapa solusi yang bisa diambil, semua rapat harus terbuka. Bisa diliput oleh media, dan bahkan punya media sendiri yang bertugas menyebarkan seluruh aktifitas di dalam rapat. Kalau gak ada waktu dan uang untuk bikin website dan hostingnya, tinggal upload di youtube.

Yang kedua, mengembalikan status mereka sebagai wakil konstituen. Caranya yaitu, memberikan hak bagi konstituen untuk mencabut dukungan/pilihan dalam pemilu, baik kepada partai ataupun kepada anggota dewan mereka. Ini bisa dilakukan dengan sistem online. Jadi begitu tahu, perwakilan mereka berbuat aneh, tidak harus menunggu masa pemilu berikutnya, tapi bisa mencabut saat itu juga. Bila seorang anggota dewan kekurangan dukungan, maka dia harus out. Dan kursi yang kosong akan diisi orang yang dipilih oleh mereka yang mencabut dukungannya.

Bukankah katanya, kedaulatan ada di tangan rakyat? Tapi kenapa untuk memecat anggota perwakilan rakyat, justru ada di tangan partai? Kembalikan hak kami!!

Dengan begini, partai dan anggota dewan akan benar-benar bekerja untuk rakyat, full 5 tahun.. dan kesenjangan antara partai dan konstituennya yang selama ini terjadi, akan terkikis habis. Cara ini juga akan mengurangi jumlah mereka yang golput, karena mereka sadar, tidak akan punya hak untuk melakukan pengawasan dan penindakan.

Bila fungsi ini, check and balance tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka yang kita lihat dalam dunia sinetron politik Indonesia adalah diktator gaya baru, yang tidak lagi dikuasai oleh presiden, tapi justru dikangkangi sendiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
--------------------------
Salam hangat dari neilhoja. "Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu."