Senin, Juli 06, 2009

Pin It

Widgets

Diskusi Privatisasi dan Neoliberalisme di Indonesia

Ditulis oleh A Nizami dalam blognya http://infoindonesia.wordpress.com

Berikut adalah diskusi saya dengan pak Faisal Basri di milis Forum Pembaca Kompas tentang Neoliberalisme dan Privatisasi:

Terimakasih pak Faisal Basri atas tanggapannya

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” [UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3)]

===

— Pada Sel, 16/6/09, Faisal Basri menulis:

> Dari: Faisal Basri faisalbasri@ymail.com

> Topik: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Adakah Basri Menangis Ketika BBM Naik 125%? Bls: Boediono Dicerca Neolib, Faisal Basri Nangis

> Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com

> Tanggal: Selasa, 16 Juni, 2009, 11:41 AM

> Ketika harga BBM dinaikkan 114 persen pada oktober 2005, saya geram dan merintih >
> http://www2. kompas.com/ kompas-cetak/ 0510/01/utama/ 2092732.htm).

Tahun

Terimakasih atas kegeraman anda atas kenaikan harga BBM sebesar 114% di Oktober 2005. Namun kita tahu, ketika teman anda Boediono naik jadi Menko Perekonomian di Desember 2005, dia bukannya menurunkan harga BBM malah menaikkannya lagi sebesar 30%.

Anda pernah mengatakan pada orang yang menaikkan harga BBM: “”Saya melihat mereka itu tidak punya hati. Mereka adalah kelompok yang tega atas penderitaan rakyat”

Apakah anda tidak geram dengan tindakan teman anda itu?

Anda juga menyatakan sebaiknya BBM naik 50%:

=

FB:

Penetapan kenaikan harga bahan bakar minyak rata-rata 100 persen lebih oleh pemerintah, Sabtu (1/10) dini hari, dinilai keterlaluan karena melampaui batas kemampuan masyarakat yang hanya bisa menanggung kenaikan sekitar 50 persen.

==

Kemudian di Perspektif Wimar anda mengatakan BBM harus sering naik: agar harga BBM di Indonesia sama dengan harga pasar (baca: harga di AS):

==

http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=869

Faisal Basri: BBM Harus Sering Naik

==

Kenapa?

Silahkan lihat daftar harga bensin dunia:

http://en.wikipedia.org/wiki/Gasoline_usage_and_pricing

Saat ini harga bensin di Indonesia cuma beda sekitar Rp 2000/liter dengan di AS. Padahal garis kemiskinan di AS sekitar Rp 10,4 juta/orang/bulan, sementara di Indonesia hanya Rp 182 ribu/bulan (versi Bank Dunia US$ 60/bulan). Nah apakah anda ingin agar harga BBM di Indonesia = di AS padahal 80% minyak mentah diproduksi di Indonesia dengan biaya lifting sekitar US$ 10/barrel atau kurang dan biaya refinery dan distribusi untuk di AS saja sekitar US$ 15/barrel? Padahal dengan harga US$ 25/barrel atau kurang dari Rp 2.000/liter saja sudah untung karena sudah di atas biaya pokok produksi + keuntungan. Silahkan download perhitungan harga bensin di:

http://www.mediafire.com/?jez4ynm4vzt

Dari daftar harga bensin di atas, kita lihat harga di Indonesia sekitar US$ 0,53/liter. Sementara di Arab Saudi US$ 0,12, Malaysia 0,5, Brunei 0,39, di Venezuela US$ 0,045/liter (Rp 450/liter). Masih banyak lagi negara yang bensinnya murah.

Nah kenapa ekonom seperti anda bukannya meminta agar harga bensin di Indonesia dibuat semurah mungkin (selama masih di atas biaya produksi dan pemerintah dapat sedikit keuntungan), namun justru meminta agar harga bensin sering dinaikkan?

Bukankah itu akan menyengsarakan rakyat karena segala harga barang termasuk beras pasti naik? Belum lagi para nelayan, supir angkot, atau pun pengemudi sepeda motor yang mayoritas rakyat miskin. Mereka itu juga memakai BBM untuk perahu dan kendaraannya dan justru memakai lebih banyak karena kendaraan mereka terus lalu lalang sepanjang hari ketimbang segelintir orang kaya yang bersedan.

FB:
> Ketika jutaan petani masih dibodohi oleh perusahaan perkebunan “milik negara”, kita

> sepantasnya meratapi dan melawan. Bagi saya, BUMN seperti itu wajib diprivatisasi,

> dikembalikan kepada petani. Bagaimana caranya, kita serahkan kepada para ahli.

Saya setuju jika 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652 BUMN/pengusaha (*1) diserahkan ke sekitar 100 juta petani di Indonesia. Tak pantas jika ada jutaan petani tidak punya sawah dan hanya jadi buruh tani sementara segelintir orang menguasai lebih dari 100 ribu hektar tiap orangnya.

Namun itu umumnya lebih dikenal dengan land reform yang nyaris tidak pernah terjadi. Bukan privatisasi yang saya maksud.

Privatisasi yang banyak terjadi selama ini justru penguasaan BUMN yang strategis dan menguasai kekayaan alam Indonesia untuk diserahkan kepada segelintir orang/pengusaha asing. Sehingga keuntungan yang biasanya masuk ke APBN dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia (jika sistem berjalan benar) sekarang justru dinikmati oleh segelintir pengusaha asing.

==

http://els.bappenas.go.id/upload/other/Telkom%20Untung%20Rp%204.htm

Telkom Untung Rp 4,25 Trilyun

Jakarta, Kompas – PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom) berhasil meraih laba tahun 2001 sebesar Rp 4,25 trilyun, naik 41 persen dibanding tahun 2000 yang Rp 3 trilyun. Pendapatan operasi perusahaan publik itu sendiri sebesar Rp 16,13 trilyun, naik 33 persen dari Rp 12,11 trilyun tahun 2000

==

Contohnya: Telkom dan Indosat justru di”privatisasi” dan dikuasai BUMN Singapura Temasek lewat anak perusahaannya Singtel dan STT. Akibatnya segala percakapan telpon/hp oleh pejabat sipil dan militer di Indonesia yang lewat backbone telekomunikasi tsb bisa dengan mudah disadap Singapura/Asing. Nah harusnya para ekonom itu memikirkan hal2 yang strategis macam ini. Apalagi Telkom dan Indosat itu sebelum diprivatisasi juga sudah untung trilyunan rupiah yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Belum lagi privatisasi ANTAM yang mengelola kekayaan alam, sementara Krakatau Steel dan Pertamina menyusul.

PAM juga diprivatisasi sehingga air minum yang dibutuhkan rakyat dikuasai Thames Pam Jaya dan PAM Lyonnaise Jaya. Mutu air tidak berubah dan mereka tidak banyak melakukan perbaikan karena jaringan pipa sudah ada. Namun harga air minum setelah diprivatisasi naik terus. Pernah tagihan PAM saya sampai rp 350 ribu/bulan. 1/3 UMR!

Nah sedihkah anda dengan privatisasi macam itu?

FB:
> Selama Pertamina masih sangat boros dan jadi bancakan para kelompok kepentingan

> (http://faisalbasri. kompasiana. com/2009/ 06/16/virus- virus-itu- ada-di-dalam- diri-kita/), sepantasnya kita juga bicara.

Kalau Pertamina boros atau jadi bancakan kelompok kepentingan, haruskah diprivatisasi/dijual ke asing?

Saat ini 90% migas kita dikuasai perusahaan asing, Pertamina hanya 10%. Banggakah anda sebagai ekonom jika ternyata 100% migas/kekayaan alam kita justru dikelola Kompeni-Kompeni baru berupa Multi National Company?

Saya beruntung sempat mendapat pencerahan dari pak Revrisond Baswir mengenai penjajahan Kompeni. Begitu pula dengan pakar minyak, pak Kurtubi yang waktu itu juga punya semangat yang sama.

Dulu yang menjajah Indonesia adalah Kompeni (Verenigde Oost Indische Compagnie). Bukan pemerintah Belanda. Mereka menguasai perkebunan dan perdagangan rempah2 di Indonesia. Para raja dan sultan tetap bangsa Indonesia, tapi Kompeni memanfaatkan mereka untuk mendikte kepentingan mereka. Rakyat pun bisa bekerja sebagai Kuli Kontrak.

Saat ini juga begitu. Bahkan lebih parah lagi. Jika masa Kompeni Belanda industrinya masih perkebunan yang ramah lingkungan. Sekarang isi bumi kita digali dan dikeluarkan sehingga merusak gunung2, bukit, dan mencemari sungai2. Lihat pertambangan emas di berbagai tempat seperti Freeport di Papua atau pun Newmont di Sulawesi. Sempat terbetik berita tentang pencemaran yang dilakukan berbagai perusahaan di atas. Sungai tidak lagi memberi ikan dimakan, begitu pula laut karena terkontaminasi.

Kalau BUMN boros, solusinya gampang, ganti manajemen. Ganti direksi. Pemerintah berhak mengganti manajemen BUMN. Jika pemerintah tidak becus, rakyat bisa mengganti pemerintah lewat Pemilihan UMUM. Pada BUMN, rakyat langsung atau tidak langsung punya kontrol terhadap BUMN. Buat beberapa BUMN baru sebagai kompetitor sehingga bisa bersaing. Bukan pakai cara gampang dengan memprivatisasi sehingga berpindah ke tangan asing.

Silahkan lihat Daftar Perusahaan Terkaya versi Forbes 500:

http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_companies_by_revenue

1. Exxon Mobil, pendapatan $390.3 billion/tahun, gaji CEO, Rex W. Tillerson, $4.12M/tahun

3. Shell, pendapatan $355.8 billion/tahun, gaji CEO, Jeroen van der Veer, €7,509,244

4. British Petroleum, pendapatan $292 billion/tahun, gaji CEO, Tony Hayward, $4.73M

6. Total S.A., pendapatan $217.6

7. Chevron Corp., pendapatan 214.1 billion/tahun, gaji CEO, David J. O’Reilly, $7.82M

8. Saudi Aramco (BUMN Saudi), pendapatan $197.9 billion/tahun

10. ConocoPhillips, pendapatan $187.4 billion/tahun, gaji CEO, James Mulva, $6.88M

Total dari perusahaan itu saja (10 perusahaan teratas versi Forbes 500) yang juga beroperasi di Indonesia mengelola kekayaan alam kita, itu US$ 1.655 milyar atau sekitar 17 ribu trilyun. Di antaranya berasal dari kekayaan alam Indonesia.

Arab Saudi cukup cerdas menasionalisasi perusahaan Aramco tahun 1974, Chavez presiden Venezuela juga menasionalisasi perusahaan migas di sana sehingga Venezuela yang merupakan negara penghutang terbesar, sekarang rasio hutangnya hanya kurang dari 40% total GDPnya. Di bawah Indonesia yang rasio hutangnya sudah mencapai 68% dari GDP dan terus bertambah sekitar Rp 100 trilyun/tahun. Kuwait dan Qatar juga mengandalkan BUMN mereka untuk mengelola kekayaan alamnya sehingga tidak bocor ke asing.

Akibatnya negara mereka makmur. Ketika saya tinggal di Arab Saudi selama 6 bulan di rumah satu warga negaranya, di sana bukan cuma bensin lebih murah, tapi sekolah, listrik, rumah sakit gratis. Bahkan di sana kalau kuliah diberi uang saku.

Negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dsb itu tidak pernah menyerahkan kekayaan alam mereka ke asing. Mereka mengelola sendiri kekayaan alam mereka. Qatar dan Kuwat meski SDMnya sedikit, mereka tetap buat BUMN sendiri. Tenaga ahli mereka cari dari luar negeri termasuk dari Indonesia. Coba lihat Kompas Sabtu-Minggu di kolom lowongan kerja, banyak iklan lowongan kerja dari BUMN Qatar, Kuwait, dsb yang mencari ahli migas dari Indonesia.

Sekali lagi, tidak ada negara yang maju/makmur dengan menyerahkan 100% kekayaan alam mereka ke perusahaan2 asing. Harusnya ekonom Indonesia berjuang agar Indonesia bisa mandiri. Bisa berdikari.

Bukan justru membujuk rakyat/pemerintah agar Indonesia tidak mandiri dan bergantung kepada perusahaan2 asing yang ternyata justru memperkaya perusahaan dan direksi mereka sendiri.

Teman saya dari Pertamina mengatakan kenapa Pertamina rugi, karena Pertamina hanya mengelola 10% dari migas di Indonesia. Pak Marwan Batubara mengatakan ketika Pertamina mengontrak Exxon untuk melakukan eksplorasi migas di Blok Cepu, begitu ketemu justru Exxon yang merebut blok tersebut. Akibatnya Pertamina tidak bisa mendapatkan migas murah di negeri ini. Pertamina harus beli di luar negeri dengan harga pasar/tinggi. Kemudian jika ada keuntungan/pendapatan, uang tersebut tidak bisa masuk ke Pertamina, tapi disalurkan sebagai deviden yang masuk dalam APBN. Itu yang menyebabkan “boros” atau rugi.

Coba lihat pendapatan perusahaan migas asing yang Rp 17 ribu trilyun/tahun. Meski untung segitu, uang itu masuk ke kas mereka. Bukan ke bangsa Indonesia. Paling tidak 10-20% dari uang tersebut berasal dari Indonesia karena banyak Negara seperti Arab Saudi, Venezuela, Qatar, Kuwait, dsb mengelola kekayaan alamnya dengan BUMN mereka. Itu belum perusahaan lain seperti Freeport, Newmont, BHP, dsb yang mengeruk emas, perak, tembaga, nikel, dsb dari bumi Indonesia.

Menurut PENA, sekitar Rp 2.000 trilyun/tahun hasil kekayaan alam Indonesia masuk ke kantong asing. Menurut saya sekitar Rp 2.000-5.000 trilyun/tahun yang masuk ke kantong asing. Jika kita mengelola sendiri, dan Rp 3.000 trilyun yang sebelumnya masuk ke kantong asing jadi milik bangsa Indonesia, maka hutang Luar Negeri Indonesia yang Rp 1.600 trilyun dengan mudah dapat dilunasi. Indonesia juga tak perlu menambah hutang Rp 100 trilyun/tahun dalam 5 tahun terakhir ini.

Selama kekayaan alam kita masuk ke kantong asing, kita cuma dapat receh kecil saja. Pendidikan murah sampai PTN, Rumah Sakit dengan harga terjangkau, atau pembaruan Alutsista hanya janji belaka kalau kita tidak punya cukup uang.

Coba perhatikan, satu CEO gajinya mencapai US$ 7,8 juta atau rp 78 milyar/tahun. Kalau ada 5 direksi dan 5 komisaris bisa untuk gaji saja sekitar rp 300 milyar/tahun. Apakah Pertamina seboros itu? Kalau ada 6 perusahaan berarti sekitar Rp 1000 trilyun hanya untuk gaji Direksi dan Komisaris saja. Sama dengan APBN kita di tahun 2008!

Kalau Pertamina kurang baik, cari solusi yang lebih baik dan cerdas ketimbang melakukan privatisasi atau melego ke pihak asing.

Kita bisa lakukan pergantian dengan manajemen yang jujur dan baik. Toh BUMN seperti Temasek, Petronas, Aramco, Venezuela justru makin membuat bangsanya makmur. Sementara SWASTA seperti Lehman Brothers, Citigroup, Chrysler, Enron, dsb bangkrut atau merugi hingga pemerintah AS harus mengucurkan bantuan sampai US$ 800 milyar dan “Menasionalisasi” Citigroup. Jangan anggap kalau mereka bankrut yang rugi perusahaan itu dan bukan rakyat. Karena kalau aset sudah puluhan milyar ke atas, biasanya perusahaan besar pakai uang rakyat mulai dari kredit Bank yang berasal dari simpanan rakyat hingga melempar saham di pasar modal yang juga dibeli dengan uang rakyat. Jika kredit macet atau perusahaan itu bangkrut, maka uang rakyat itu lenyap. Di BEI saja pernah dalam setahun 24 perusahaan yang go public bangkrut/delisting.

Bisa juga membuat beberapa BUMN baru sebidang hingga ada benchmark dan BUMN yang merugi dilikuidasi.

Jadi hilangkan pandangan Stereotip Swasta pasti untung dan BUMN pasti rugi.

Sekali lagi tidak pernah ada dalam sejarah negara sapi perah yang dieksploitasi pihak asing bisa maju dan makmur.

FB:
> Kalau kita tahu apa yang dikatakan orang tidak benar dan lalu kita memberikan

> perspektif lain, apakah itu salah. Ikhwal saya menangis, tentu ada alasan yang lebih

> dalam. Antara lain ketakutan saya bahwa kita mudah lupa akan apa yang terjadi 11

> tahun lalu..
>
> Mungkin saya terlalu emosional karena menangkap dimensi ketidakadilan, walau itu

> hanya terhadap seorang sosok yang bernama Boediono.

Pak Boediono dari tahun 1998 hingga sekarang malang melintang menjabat berbagai posisi penting di perekonomian Indonesia. Dari Ketua Bappenas, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, dan bisa jadi nanti sebagai Wapres. Jadi bisa berbuat banyak untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.

Coba amati dalam rentang tahun 1998-2009:

1. Nilai rupiah anjlok dari Rp 2.200 sejak diberlakukan floating rate dan devisa bebas jadi Rp 10.500 (sempat rp 16.700). Padahal Arab Saudi yang menggunakan credit money real seperti yang dilakukan AS sebelum tahun 1971 yang mematok dollar ke emas, nilainya relatif stabil. Dari tahun 1980 hingga sekarang dengan uang 1 real kita bisa beli sebotol Pepsi Cola. Dengan turunnya nilai rupiah, ini adalah pemiskinan massal.

2. Harga BBM naik dari Rp 700/liter jadi Rp 4.500/liter. Harga BBM memicu kenaikan harga2 barang lainnya padahal penghasilan rakyat pertambahannya tidak sebesar itu. Ini adalah pemiskinan massal.

3. Uang masuk PTN seperti UI tahun 1998 sekitar rp 200 ribu dan SPP per semester sekitar rp 200 ribu. Sekarang untuk masuk UI uang masuknya saja bisa mencapai Rp 150 juta lebih belum uang semesternya. Bagaimana Indonesia bisa jadi bangsa yang cerdas jika PTN mahal karena diprivatisasi jadi BHMN untuk kemudian dijual?

Kebetulan saya kerja di industri retail jadi tahu betul apakah daya beli rakyat melemah/menguat karena retail adalah cermin dari daya beli rakyat. Penjualan di tahun 2009 kurang separuh daripada di tahun 2005 nilai rupiahnya. Perusahaan kompetitor juga begitu. Di media massa juga diberitakan bahwa retail lesu. Retail lesu karena daya beli rakyat melemah. Jadi meski katanya pertumbuhan ekonomi naik 6%/tahun, mungkin itu adalah “ekonomi” yang ngomong. Perusahaan saya justru turun. Gaji saya relatif tidak berubah dari tahun 2005. Teman2 saya dari perusahaan lain bahkan kena PHK dan menganggur hingga sekarang.

Gaji PNS naik katanya, tapi PNS itu jumlahnya kurang dari 5 juta atau <3% dari rakyat Indonesia. Kenaikan gaji justru memicu kenaikan harga barang yang menyengsarakan 80% rakyat Indonesia yang penghasilannya tidak berubah bahkan jadi tidak ada karena kena PHK. Tiap saya naik bis, minimal pulang pergi ada 5 pengamen. Kemarin malam ada gadis kecil umur 5 tahun yang mengemis minta uang ke penumpang Mikrolet. Hari sudah malam, harusnya gadis kecil itu sudah di rumah beserta keluarganya. Bukan diterminal mencari uang jika dia adalah keluarga mampu karena dia bisa diperkosa para preman terminal. Banyak anak balita lain yang mengamen/mengemis di bis-bis yang saya tumpangi tiap hari kerja. Harusnya anda menangis untuk mereka karena dengan kebijakan ekonomi yang keliru, rakyat Indonesia yang harusnya makmur justru jadi miskin dan terlunta2 mencari makan di jalan. > Jangan sampai kita cepat pukul-rata. Dunia tidak hitam-putih.

> Bagaimanapun, saya sepenuhnya sepakat bahwa negeri ini belum berdaulat dalam

> banyak hal. Tapi jangan sampai musuh dalam selimut tertawa terbahak-bahak. .

Saat ini meski mungkin anda termasuk orang kaya, namun mayoritas rakyat Indonesia masih miskin. Ini karena hutang selalu diperbesar dan celakanya lagi pihak pengutang selalu mendikte bahwa Indonesia harus memprivatisasi BUMN, mencabut subsidi barang/BBM, dsb. Kekayaan alam juga diserahkan kepada Kompeni-kompeni asing.

Sekali lagi anda perhatikan bahwa negara yang maju dan makmur adalah negara yang mengelola sendiri kekayaan alamnya. Bukan menyerahkannya ke pihak asing.

Kompeni gaya baru ini tentu menyewa antek2nya untuk membela kepentingan mereka.

Benar peringatan anda: jangan sampai musuh dalam selimut tertawa terbahak-bahak

Pak Faisal, ucapan anda banyak didengar orang, termasuk di milis Forum Pembaca Kompas. Anda bisa melakukan perubahan/memberi masukan agar rakyat Indonesia makmur.

Saya pribadi tidak setuju dengan sistem komunis di mana negara memiliki semuanya. Tapi saya juga tidak setuju jika semua BUMN dijual sehingga BUMN berikut kekayaan alam yang dikelola dikuasai swasta yang mencari untung sebesarnya seperti yang dilakukan Sistem Ekonomi Neoliberalisme.

Untuk kekayaan alam, sembako yang meliputi hajat hidup orang banyak, harus dikelola negara bersama puluhan juta petani (bukan segelintir “petani”) untuk memakmurkan rakyat.

BUMN memang tidak SELALU harus untung karena ada Public Service/Layanan Masyarakat yang harus dijalankan oleh negara seperti penyediaan air minum yang bersih untuk rakyat, listrik, kesehatan, dan pendidikan. Sebagai gantinya, negara menerima pajak dari rakyat sebesar rp 500 trilyun lebih per tahunnya.

Sebagai contoh pagi ini saya dapat SMS dari teman saya yang berbunyi:

===
Salam, peluang beramal bagi yang ingin sedekah. Saat ini ada seorang ibu yang akan melahirkan sesar di RS Fatmawati. Tapi tak ada biaya, bagi yang ingin membantu bisa hubungi Musa di 08811812832

===

Tak semua orang miskin dapat kartu Gakin karena garis kemiskinan BPS yang terlampau rendah.

Teman saya dan saya juga berkunjung ke perkampungan nelayan di Muara Angke. Boleh dikata 90% warganya hidup dalam kemiskinan. Saya bersama teman saya bertamu ke satu rumah yang luasnya paling 9 m2 yang didiami 4 orang untuk mewawancarai calon penerima beasiswa dari satu yayasan yang didirikan teman saya pak Eko. Sedihnya, jauh lebih banyak orang yang harus menerima bantuan ketimbang jumlah donaturnya… Kalau tertarik membantu, silahkan kontak pak Eko dengan MIF Foundationnya.

Jumlah orang miskin saat ini sedikit cuma sekitar 35 juta jiwa karena garis kemiskinan yang dipatok BPS sangat rendah. Cuma rp 182 ribu/bulan per orang. Jika menurut standar Bank Dunia yang US$ 60/bulan, mungkin jumlahnya sekitar 120 juta jiwa. Jika pakai standar AS yang Rp 10,4 juta/bulan, bisa lebih banyak lagi…J

http://infoindonesia.wordpress.com/2008/03/11/umr-dan-garis-kemiskinan-kita-memang-beda-%E2%80%93-umr-indonesia-us-95bulan-as-us-4914bulan/

Neoliberalisme untuk mengidentifikasi paham ekonomi yang bertujuan memprivatisasi semua BUMN, mencabut subsidi barang/BBM itu ada di berbagai ensiklopedi seperti MS Encarta Encyclopaedia, Ensiklopedi Britannica, dsb. Contohnya lihat di bawah (*2)

==

http://encarta.msn.com/encyclopedia_1741588397_2/globalization.html

The IMF and the World Bank usually impose certain conditions for loans and require what are called structural adjustment programs from borrowers. These programs amount to detailed instructions on what countries have to do to bring their economies under control. The programs are based on a strategy called NEOLIBERALISM, also known as the Washington Consensus because both the IMF and the World Bank are headquartered in Washington, D.C. The strategy is geared toward promoting free markets, including privatization (the selling off of government enterprises); deregulation (removing rules that restrict companies); and trade liberalization (opening local markets to foreign goods by removing barriers to exports and imports). Finally, the strategy also calls for shrinking the role of government, reducing taxes, and cutting back on publicly provided services.

==

Beberapa gejalanya adalah privatisasi, pencabutan subsidi barang/BBM, dsb. Gejala demam berdarah adalah badan panasnya tinggi dan tidak turun selama beberapa hari, bercak merah, dsb. Namun penyakit demam berdarah tetap positif meski ada gejala yang tidak terbukti. Sebagai contoh, tidak semua penderita demam berdarah memiliki bercak merah di kulitnya.

Nah Neoliberalisme juga begitu. Meski ada gejala yang tidak terlihat, bukan berarti itu bukan Neoliberalisme jika gejala2 lain yang disebut terlihat.

Tapi semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah dan benar-benar berjuang untuk mensejahterakan rakyat.

Saat ini saya paling cuma membuat blog seperti www.infoindonesia.wordpress.com yang paling banter cuma dikunjungi 1800 orang per hari dengan isi berbagai artikel yang diharap bisa mencerahkan bangsa Indonesia.

http://infoindonesia.wordpress.com/2008/01/15/beberapa-langkah-mengurangi-kemiskinan-di-indonesia/

Tabik,
> faisal basri

— On Tue, 6/16/09, A Nizami wrote:

From: A Nizami

Subject: [Forum-Pembaca- KOMPAS] Adakah Basri Menangis Ketika BBM Naik 125%? Bls: Boediono Dicerca Neolib, Faisal Basri Nangis

To: Forum-Pembaca- Kompas@yahoogrou ps.com

Date: Tuesday, June 16, 2009, 2:01 AM

Apakah Faisal Basri menangis ketika BUMN-BUMN yang merupakan milik rakyat Indonesia dijual ke swasta/asing?

Adakah Faisal Basri menangis ketika harga BBM di Indonesia naik mengikuti harga minyak dunia sampai 125% sehingga memicu kenaikan harga-harga barang lainnya?

Adakah Faisal Basri menangis ketika sebagian besar kekayaan alam Indonesia dikelola oleh asing sehingga perusahaan2 migas/pertambangan asing yang beroperasi di Indonesia masuk daftar perusahaan terkaya versi FORBES 500 dengan pendapatan ribuan trilyun rupiah/tahun dan CEOnya penghasilannya sampai rp 7 milyar lebih per bulan sementara 11,5 juta rakyat Indonesia kurang gizi/busung lapar?

Apakah itu Neoliberal (ini ada di berbagai ensiklopedia) , Ekonomi Jalan Tengah (yang tidak ada di Ensiklopedi) , selama BUMN-BUMN dijual ke swasta/asing, selama kekayaan alam Indonesia diserahkan kepada asing, mayoritas rakyat Indonesia akan terpuruk dalam kemiskinan..

===

Ayo Belajar Islam sesuai Al Qur’an dan Hadits

http://media-islam.or.id

— Pada Sen, 15/6/09, Agus Hamonangan menulis:

Dari: Agus Hamonangan

Topik: [Forum-Pembaca- KOMPAS] Boediono Dicerca Neolib, Faisal Basri Nangis

Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com

Tanggal: Senin, 15 Juni, 2009, 4:33 AM

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/15/15020598/boediono.dicerca.neolib.faisal.basri.nangis.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengaku menangis ketika mendengar Boediono, rekannya sesama ekonom, dicerca sebagai neoliberalis.

Ceritanya terjadi ketika dirinya berada di Singapura pada pertengahan bulan Mei kemarin. Saat itu, Faisal mengaku tengah berada di dalam MRT di Negeri Merlion tersebut. Dirinya membaca berita-berita yang menyatakan bahwa Boediono itu neolib karena telah melakukan privatisasi BUMN.

“Mungkin saya agak cengeng. Tapi saya benaran menangis melihat kawan saya dicerca,” ujar Faisal pada acara peluncuran buku karya Boediono yang berjudul Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?, Senin (15/6) di Gedung Perpustakaan Nasional.

Saat itu juga, Faisal langsung mempercepat kepulangannya ke Indonesia lewat Batam. Dalam perjalanan pulang itulah, Faisal menuliskan artikel yang “membela” mantan gubernur Bank Indonesia itu dan mengirimkannya ke blog pribadinya di Kompasiana.com. Tulisannya itu kemudian mendapat tanggapan banyak orang.

Buku Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana? merupakan kumpulan esai ekonomi karya Boediono yang pernah diterbitkan di berbagai jurnal, surat kabar, dan majalah. Sepuluh esai yang dipublikasikan itu terdiri dari delapan tulisan ekonomi makro, satu keynote speech Gubernur Bank Indonesia, dan satu catatan pribadi tentang Prof Widjojo Nitisastro.

Turut hadir dalam peluncuran buku tersebut sejumlah ekonom, seperti Tony Prasetiantono, Sumarlin, dan juga tokoh-tokoh pers, seperti Rosihan Anwar, Fikri Jukri, dan Rektor UGM Soedjarwadi.

Sent from Indosat Blackberry

HIN

__._,_.___

Messages in this topic (2) Reply (via web post) | Start a new topic

Messages | Polls

=====================================================
Pojok Milis Komunitas Forum Pembaca KOMPAS [FPK] :

1.Milis Komunitas FPK dibuat dan diurus oleh pembaca setia KOMPAS

2.Topik bahasan disarankan bersumber dari http://epaper.kompas.com/ , http://kompas.com/ dan http://kompasiana.com/

3.Moderator berhak memuat,menolak dan mengedit E-mail sebelum diteruskan ke anggota

4.Moderator E-mail: agus.hamonangan@gmail.com agushamonangan@yahoo.co.id

5.Untuk bergabung: Forum-Pembaca-Kompas-subscribe@yahoogroups.com

KOMPAS LINTAS GENERASI

=====================================================

Catatan kaki:

*1 http://infoindonesia.wordpress.com/2008/01/15/beberapa-langkah-mengurangi-kemiskinan-di-indonesia/

*2 Policy implications

Broadly speaking, neoliberalism seeks to transfer part of the control of the economy from state to the private sector,[5] to, ostensibly, bring a more efficient government and, to improve economic indicators of the nation. The definitive statement of the concrete policies advocated by neoliberalism is often taken to be John Williamson’s[6] “Washington Consensus”, a list of policy proposals that appeared to have gained consensus approval among the Washington-based international economic organizations (like the International Monetary Fund (IMF) and World Bank). Williamson’s list included ten points:

* Fiscal policy discipline;

* Redirection of public spending from subsidies (”especially indiscriminate subsidies”) toward broad-based provision of key pro-growth, pro-poor services like primary education, primary health care and infrastructure investment;

* Tax reform – broadening the tax base and adopting moderate marginal tax rates;

* Interest rates that are market determined and positive (but moderate) in real terms;

* Competitive exchange rates;

* Trade liberalization – liberalization of imports, with particular emphasis on elimination of quantitative restrictions (licensing, etc.); any trade protection to be provided by law and relatively uniform tariffs;

* Liberalization of inward foreign direct investment;

* Privatization of state enterprises;

* Deregulation – abolition of regulations that impede market entry or restrict competition, except for those justified on safety, environmental and consumer protection grounds, and prudent oversight of financial institutions; and,

* Legal security for property rights.

http://en.wikipedia.org/wiki/Neoliberalism

http://encarta.msn.com/encyclopedia_1741588397_2/globalization.html

-----------
sumber: dari blog Pak Nizami
http://infoindonesia.wordpress.com/2009/06/19/diskusi-dengan-faisal-basri-tentang-neoliberalisme-dan-privatisasi/

Artikel terkait :



9 comments:

buwel mengatakan...

waduh postingan kelas berat...wallohu a'alam ajah nggak papa ya....

Seno mengatakan...

Yah, yang jelas siapapun ekonomnya, siapapun menterinya,siapapun presidennya, cuma kita yang bisa mengubah nasib dan masa depan kita sendiri. Biarkanlah para petinggi itu bekerja, kita mengawasi, tapi untuk masalah peningkatan ekonomi, jangan percayakan ke mereka, karena kita sendirilah yang menentukan mau seberapa baik perekonomian kita. :)

PRof. IjoPunkJUtee mengatakan...

BBM naik, kayaknya sudah menjadi NADZAR "mereka" sebelum naik TAHTA. Kenapa harga yang diubek2..??
Asal "mereka" tau, BBM yang diterima RAKYAT gak bermutu, campur aer, campur lumpur pokok'e campur baur..!!!

Kebijakan apapun yang "kalian" ambil, kami tak peduli, yang penting keperpihakkan HASIL yang sampai kepada KAMI, anak negeri yang mengharap sesuap nasi dari bumi pertiwi.

Paham apa rakyat miskin dengan rumit-ribetnya suatu teori kebijakan yang mengacu pada keperpihakan rakyat, klo ternyata cuma INTEP doank yang kami makan...!!!

Terserah mau negara menguasai atau diprivatisasi, tapi tolong pikirkan, KAMI sebagai anak negeri, apakah KAMI bisa menikmati HASIL-nya nanti...

Mas Niam mengatakan...

@ buwel: hehehe... iya, kelas berat. wallahu a'lam gak papa kok
@ prof: hem begitulah seharusnya pemerintah, menjadi khadim atau pelayan rakyat, bukan malah menjadikan rakyat sebagai pelayan mereka! dan privatisasi menurut saya, termasuk salah satu tindakan menjadikan rakyat sebagai pelayan penguasa... kekayaan alam negeri, bukan dinikmati oleh bangsanya sendiri tapi justru dibawa lari untuk orang luar negeri!
@ kang seno: setuju kang, kita yang harus mandiri! kalo berharap pada pemerintah masih sulit, kenapa tidak kita mulai saja kemandirian itu dari diri kita sendiri?!!

Kang Sugeng mengatakan...

Ass. Mas Neil,
Apa kabar di Mesir? salam buat scorpion king ya hehe...

Mas, saya mengundang eMas untuk ikut urun rembug dalam memberikan solusi buat masalah sahabat saya yg saya yakin Mas Neil juga mengenalnya.
Ayo Mas kita kasih dia suport biar tegar.
Ngumpulnya di blog saya ya Mas, trimakasih, saya tunggu kedatamgannya.

tito mengatakan...

wah panjang juga tu diskusi... ga sempet kebaca smua, komen aja dulu ya.. hehe... trus lanjutin bacanya... :D

andrys note mengatakan...

thanks,,,,,,,
saya jd tercerahkan neeh,,,,,,

nomercy mengatakan...

selain kita melihat, merasakan dan memikirkan soal warisan bangsa ini, juga kita harus melihat, merasakan dan memikirkan apa yang dapat diwariskan bangsa ini untuk generasi masa yang akan datang ... jangan sampai anak cucu kita hanya menjadi sapi perahan di rumahnya sendiri ...

neilhoja mengatakan...

@ om mercy: iya om, itulah dampak dari neolib dengan privatisasinya... freeport yang kaya, rakyat papua yang menderita.. :|
@ andrys: yups.. makasih jg atas kunjungannya..
@ mas tito: hehehe, iya mas.. panjang bangettt.. ^^
@ mas mantan: hehe, tapi di sana udah banyak yang komeng mas.. saia jadi ndak enak, :D

Posting Komentar

Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)