Minggu, Mei 17, 2009

Pin It

Widgets

Lupa dan Lalai bagi Nabi

artikel ini aku tulis sebagai permohonan maaf karena gak bisa jelasin dengan baik sama temen-temen ketika kita belajar bareng materi ini..

Pertama-tama, aku pengen ngucapin terima kasih buat temen-temen yang udah dan masih bantuin aku ngadepin ujian lewat doa. Ujian tahriri (tertulis) pertama di termin kedua ini, adalah soal materi Tauhid. Pada awalnya gak terlalu yakin bisa ngadepin nih ujian. Gimana enggak, yah walaupun aku udah baca buku diktatnya, tapi tetep aja kan belum diapalin. Jadi masih was-was, apa bisa ntar jawab soal di ujian?

Sampai di malam hari sebelum ujian, aku masih belum selesai ngulangin dan ngapal. Baru sebatas baca dan pahami lagi. Akhirnya aku paksa tidur sebelum jam satu. Karena takut, ntar kalo begadang malah gak bisa jawab ujian gara-gara ngantuk, hehehehe...
Lah kok malah jadi cerita ujian?

Tapi tak papa, sekalian curhat dikit soal ujian hari ini. Yang alhamdulilah.. berkat taufik dan hidayah-Nya, serta doa dari temen-temen ujian hari ini insya Allah bisa saia jalani dengan baik. Dari 3 soal yang ada, yang gak bisa cuma ketika disuruh memperkuat pendapat kita dengan nyebutin dalil hadits, :D. Selebihnya, insya Allah tamam (pas). Tapi soal hasil, masih wallahu a’lam... doanya ya fren, moga hasilnya juga baik. Amin99x.

Lepas dari cerita soal ujian, tulisan ini aku buat atas dorongan tanggung jawab ilmiah, *halah.. bahasa dari mana tuh? Secara kemaren, pas aku lagi ngisi bimbel buat temen-temen sendiri, permasalahan ini gak sempet aku bahas dengan tuntas. Ya.. mm mohon maaf, namanya juga ngejelasin dari sekali baca, ^^v. Jadi pahamnya gak sepaham sekarang ini.

Salah satu bab yang mungkin kemaren aku kurang pas jelasinnya adalah soal “Lupa dan Lalai bagi Nabi”. Mungkinkah seorang Nabi lupa? Selanjutnya, insya Allah akan aku jawab sesuai dengan buku diktat kuliahku.

Perlu diketahui, yang menjadi diktat mata kuliah tauhid ini adalah mazhab Imam As’ari. Dari kitab Arjuzah Jauharu Tauhid karangan Imam Ibrahim bin Ibrahim bin Hasan al-Laqaniy, yang disyarah atau diperjelas oleh Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy dalam Tuhfatu al-Murid ala Jauharu Tauhid. Yang selanjutnya diberi catatan oleh Team Kurikulum Fakultas Akidah dan Filsafat Kampus Al-Azhar, Kairo.
Permasalahan ini adalah turunan dari masalah sifat wajib bagi Nabi dan Rasul.

Sebagaimana kita tahu, ada empat sifat wajib bagi Nabi, satu diantaranya khusus bagi Rasul yaitu: 1. Shidiq; 2. Amanah; 3. Fathonah; 4. Tabligh (khusus Rasul saja). Dalam diktat tingkat dua ushuluddin ini dapat dilihat pada halaman 58. Terkait sifat-sifat yang mustahil bagi Nabi dan Rasul, adalah lawan dari yang empat tadi.

Salah satu yang menjadi isykal atau permasalahan di sini adalah, bolehkah seorang Nabi itu lupa atau lalai? Apakah itu bertentangan dengan sifat wajib amanah?
Dalam kitab tersebut akan kita dapati bahwa para dosen kita ini langsung membahas bisa tidaknya seroang Nabi lupa atau lalai. Tapi menurut aku sendiri, alangkah lebih baik kalau kita bisa memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan lalai (as-sahwu) dan lupa (an-nisyan). Karena secara sekilas, dalam bahasa Arab kedua kalimat a.ka kosakata ini bisa berarti sama. Tapi ternyata tidak, sebagaimana yang tertulis dalam kitab tersebut.

As-sahwu (lalai) dalam kitab ini secara mudah berarti lalai. Artinya, melaksanakan sesuatu tidak sesuai dengan yang seharusnya. Contoh lalai adalah begini, Nabi diperintah untuk bilang Allah itu Tuhan, tapi kemudian beliau lalai dan akhirnya bilang Allah itu bukan Tuhan. Atau misalkan sholat Subuh seharusnya dua rakaat, tapi ternyata malah empat rakaat.

Bagaimana dengan as-sahwu (lalai) ini? Menurut duktur/ dosen – sebagaimana tertulis dalam kitab – as-sahwu atau lalai tidak boleh bagi Nabi dalam akhbar balaghiyah, yakni berita tentang syariat dan akidah dalam agama, contohnya lalai dalam mengabarkan haramnya khamar, dsb. Sementara terkait dengan af’al balaghiyah, atau perbuatan-perbuatan yang disyariatkan dalam agama, dimungkinkan bagi Nabi untuk bisa lalai, contohnya lalai dalam sholat untuk memberikan hukum syariat (sujud sahwi). Akan tetapi sebagian kelompok bilang bahwa, lalainya Nabi ini bukan karena disibukkan oleh hal lain selain dari Tuhan.

Adapun an-Nisyan (lupa), dalam pengertian di buku ini lebih mudah disebut sebagai tidak ingat, dan tidak disamakan dengan as-sahwu di atas, meski dalam prakteknya kedua kalimat ini bisa saling menggantikan. Lebih gampangnya untuk membedakan antara sahwu dan nisyan, bila sahwu itu adalah ketika proses perbuatan itu kemudian lalai, sedangkan nisyan adalah lupa atau hilang ingatan a.ka hilang hafalan, tidak bisa mengingat.

Nah, sifat lupa ini berbeda dengan lalai (sahwu) bagi Nabi. Bila sahwu boleh terjadi dalam perbuatan syariat, akan tetapi untuk nisyan tidak boleh bagi Nabi baik dalam perbuatan ataupun berita syariat sebelum disampaikan atau dikerjakan. Sementara bila lupa itu terjadi setelah dikerjakan atau disampaikan, maka itu boleh terjadi bagi Nabi.

Jadi, khulasotul qaul.. secara ringkas, bisa disebut begini. Sahwu atau lalai tidak boleh terjadi pada Nabi kecuali dalam hal perbuatan. Sementara untuk berita-berita syariat, maka tidak boleh sama sekali Nabi itu lalai dalam hal tersebut. Artinya, Nabi salah menyebut kalau Allah itu Tuhan, maka ini tidak mungkin terjadi.

Adapun nisyan atau lupa, boleh terjadi pada Nabi apabila berita syariat atau perbuatan syariat telah disampaikan atau dikerjakan. Apabila belum dikerjakan, maka mustahil hukumnya seorang Nabi lupa dengan berita itu atau perbuatan itu.

Wallahu a’lamu bishshowab.

Artikel terkait :



7 comments:

Kang Sugeng mengatakan...

Saya teken dulu yo Mas.

Kang Sugeng mengatakan...

Wuaaaaah... Mas Neil ini kuliahnya di Kairo ya, huebat tenan. Bisa mendalami Islam begitu, jng seperti saya, STM saja hampir putus ditengah jalan.

Mas, mbok komentarnya ndak usah menggunakan perivikasi, saya jadi mahal, komen dng hp.

Trimakasih Mas, sudah mau main ditempat saya, maaf.

neilhoja mengatakan...

@ mas mantan:
teken iku opo yo? :?
iya, mas kuliah di kairo, alhamdulillah... tapi ya, biasa aja wong memang sudah begitu jalannya. masing-masing dari kita kan punya tanggung-jawab sesuai kemampuan kita :) alhamdulillah saya diberi kesempatan ke sini. bukan berarti saya lebih baik dari mas, bisa jadi mas lebih baik karena udah jadi imam buat keluarganya... ya, kan?

Rasul bilang (secara makna): "semakin sulit sebuah amal perbuatan, semakin ia dicintai oleh Allah."

sama-sama mas, semoga bisa tambah sodara..., oiya, permintaannya langsung dikabulin mas, ternyata perivikasi agak rumit bagi yang pake hape ya... maaph maaph... :D

RanggaGoBloG mengatakan...

:o salam kenal mas.... *dengan muka polos*

Kang Sugeng mengatakan...

Teken itu tanda tangan Mas.
Trimakasih sdh mengabulkan prmintaanku, tntang verifikasi itu lho. Kmrn saya salah menyebut.

Anonim mengatakan...

mungkinnya Nabi untuk lalai atu lupa bagi nabi adalah satu pandangan yang bertentangan dengan kesucian Nabi.

Mas Niam mengatakan...

mas anonim. boleh tanya, apa sampeyan sudah baca tulisan di atas semua?

terkait kesucian Nabi, dalam hal ini adalah sifat amanah, sebagaimana yang saya sebut di atas.

perlu ditekankan di sini, bahwa lalai dan lupa adalah dua hal yang berbeda. penjelasannya silahkan baca artikel di atas.

terkait sifat lupa bagi Nabi, itu bisa saja terjadi dan sama sekali tidak mencederai kesucian seorang Nabi. akan tetapi perlu diingat, kapan lupa ini bisa terjadi pada seorang nabi dan pada masalah apa?

untuk lupa, di atas sudah saya jelaskan kapan dan pada masalah apa hal ini bisa terjadi pada Nabi:
"untuk nisyan (lupa) tidak boleh bagi Nabi baik dalam perbuatan ataupun berita syariat sebelum disampaikan atau dikerjakan. Sementara bila lupa itu terjadi setelah dikerjakan atau disampaikan, maka itu boleh terjadi bagi Nabi."

kenapa boleh lupa, setelah disampaikan? karena hakikat nabi adalah tetap seorang manusia yang bisa lupa. dapat dibayangkan kalau seandainya nabi tidak lupa... :?

Posting Komentar

Punya opini lain? Ceritakan di sini kawan.. :)