Rabu, Oktober 22, 2008

Kembar Identik Qadariyyah dan Mu'tazilah

Dalam pendahuluannya, Imam Asy’ari mengawali pembahasan dalam kitab al-Ibanah dengan penyebutan dua golongan ahlu azzaigh wa al-bid’ah, Mu’tazilah dan ahlu al-Qadr yang juga disebut Qadariyyah. Menarik memang, bila kita telisik asal mula dan tujuan mengapa beliau menggabungkan dua mazhab ini dalam satu kalimat dan bahkan satu pembahasan. Namun, sebelum kita melacak lebih jauh, ada baiknya kita mengenal lebih dulu, apa dan bagaimana dua golongan ini.

Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini mulai muncul di kota Bashrah (Iraq), pada abad ke – 2 Hijriyah , antara tahun 105 – 110 H , tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifa Hisyam Bin Abdul Malik.
Sang pentahkik, Abu Umar Muhammad bin Ali bin Raihan – selanjutnya penulis sebut Ibn Raihan – dalam syarahnya menuliskan dua alasan penyematan nama atas golongan ini; yang pertama, “Para Jumhur Ulama memberi mereka nama tersebut karena i’tizal (menyendiri) mereka dari pendapat umum kaum muslim berkaitan dengan orang yang berbuat dosa besar.” Kaum Mu’tazilah menganggap bahwa, orang yang berdosa besar berada di antara manzilah baina manzilatain, tidak juga ia mukmin ataupun kafir.
Alasan yang kedua, dengan pemegang pendapat yang lebih sedikit, – ditulis oleh Ibn Raihan dengan kalimat qîla, pen. – “Adalah karena i’tizal pemimpin mereka Wâshil bin ‘Athâ dari majlis ilmu Hasan al-Bashrî.”

Madzhab ini sendiri berpegang pada ajaran-ajaran, semisal menafikan sifat-sifat bagi Allah dan menafikan syafaat Rasulullah bagi para pendosa besar. Seiring dengan berjalannya waktu, kelompok pemuja akal ini kemudian memiliki cabang dan kelompok-kelompok yang cukup banyak, diantaranya: al-Jubbâiyyah, adl-Dlaruriyyah, al-Jâhidziyyah dan sebagainya.

Tentang Mu’tazilah, Ibn Raihan tidak terlalu berpanjang lebar. Tanpa penjelasan yang cukup lengkap, selanjutnya ia beralih menuliskan paham sesat yang kedua, Al-Qadariyyah.

Al-Qadariyyah
Dalam sejarahnya, umat Islam telah dirumitkan dengan permasalahan Qadla dan Qadr ini sejak akhir masa Khulafa ar-Rasyidin dan di masa Umawiyyah. Tidak jelas siapa yang menjadi dalangnya ataupun yang dianggap sebagai imam dari pemikiran ini. Hanya saja, Dr. Ahmad Abdurrahim as-Sayih menyebut bahwa kelompok yang beranggapan Qadariyyah adalah Mu’tazilah. Akan tetapi, dari referensi lain, dapat disebut seorang Ma’bad al-Juhaniy, yang ia sendiri mengambil pemikiran tersebut dari seorang Nashraniy yang masuk Islam, kemudian murtad. Dan adalah Ma’bad, orang pertama yang menyebarkan diskursus ini di kalangan umat. Dan kemudian wacana ini selanjutnya diteruskan oleh Ghoylan, sebut Imam al-Auza’i menambahkan.

Ibn Rusyd, yang perkataannya dikutip Dr. Ahmad Abdurrahim as-Sayih, berkata, “Umat Islam ketika itu berselisih di masalah ini dikarenakan oleh kajian dan pemikiran atas dalil-dalil sam’iyyat (Quran dan Hadits) yang terlihat bertentangan, termasuk juga dalil akal.”

Sebagai contoh, kalaulah kehendak Allah itu syamil atas segala apa yang terjadi, lantas bagaiamana mungkin Allah menghendaki adanya kejelekan? Lalu, seandainya kita katakan bahwa kehendak-Nya itu hanya kepada kebaikan, maka tentulah wajib adanya perbuatan selain dari yang dikehenadki-Nya. Bila itu terjadi, lantas bagaimana bisa dikatakan iradat-Nya syamilah dan qudrat-Nya itu mutlak? Nah, dari pertentangan inilah kemudian timbul sekte-sekte baru dalam Islam.

Kemudian beliau menuliskan dalam judul makalah beliau “al-Qadariyyah”, bahwa dalam memandang permasalahan al-jabar (paksaan) dan ikhtiar (qudrat) ini, ada tiga golongan dalam umat Islam. Pertama, mereka yang berkata adanya qadr dan ikhtiar. Artinya, bahwa manusia memiliki kemampuan dalam dirinya sebelum melakukan sautu pekerjaan. Inilah golongan Mu’tazilah dan mereka yang melenceng dalam pemikiran mereka.
Yang kedua, golongan yang condong pada jabar (paksaan); artinya mereka menafikan adanya perbuatan dari seorang hamba. Jadilah manusia itu seorang hamba yang dipaksa dalam perbuatannya, tidak juga memiliki qudrat (kemampuan) ataupun iradat (keinginan).

Dan yang ketiga adalah golongan yang berada di tengah-tengah. Tidak mereka menafikan qudrat, juga tidak menafikan jabar. Allah-lah sang Pencipta perbuatan manusia, karena manusia dan seluruh perbuatannya diciptakan oleh Allah. Akan tetapi manusia, tetap memiliki kemampuan yang Allah menciptakannya bersamaan dengan perbuatan manusia tersebut, tidak setelah ataupun sebelumnya. Manusia dalam pandangan golongan ini, muktasib (berusaha) dalam amalnya dan Allah-lah Pencipta perbuatan tersebut. Mereka adalah golongan Ahlussunnah, termasuk al-Asyairah dan mereka yang sependapat dengannya.

Paham Qadariyyah sendiri ibn Raihan beri penjelasan – mengutip uraian Dr. Ahmad Sa’d Hamdan; adalah nama yang Ahlussunnah sebut untuk segolongan orang yang berkeyakinan bahwa manusia berbuat karena amal (dari diri) mereka dan bukan Allah. Artinya, bahwa mazhab ini tidak mengakui adanya campur tangan Allah dalam apa yang dikerjakan oleh manusia. Manusia sangat bebas dalam menentukan perilaku dan amal perbuatannya, termasuk tanpa pertolongan dan intervensi dari Allah sekalipun.
Al-Qadariyyah dan Mu’tazilah; Kembar Identik?

Namun, ada sebuah pertanyaan menarik, apakah Qadariyyah adalah termasuk Mu’tazilah? Dalam kitabnya Syarh al-Aqidah al-Wasathiyyah, Imam Ibn Taimiyyah menuliskan dengan apik ketika berbicara tentang posisi Ahlussunnah di antara Jabariyyah dan Qadariyyah, “Dan berkata Jumhur Ulama Mu’tazilah yakni Qadariyyah; (kami) menafikan adanya takdir, sesungguhnya Allah tidaklah menentukan takdir atas hamba.”
Mari kita tengok sekali lagi, dalam kalimat Jumhur Ulama Mu’tazilah, yakni Qadariyyah. Apakah berarti Qadariyyah adalah termasuk dalam Mu’tazilah, sebagaimana yang beliau sebutkan?

Namun, sebelum kita menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita tengok kitab rujukan lain, al-Milal wa an-Nihal. Sang pengarang kitab, Imam asy-Syahrastâny menjelaskan lebih detail. Kitab yang memang selama ini menjadi rujukan untuk permasalahan firaq, alias kelompok-kelompok mazhab dalam Islam ini menjelaskan posisi Mu’tazilah dan Qadariyyah, khususnya dalam bab al-Muqaddimah ats-Tsâlitsah fi Bayâni Awwalu Syubhatin.

Dalam kitabnya beliau menjelaskan bahwa awal dari timbulnya syubhah ataupun permasalahan perbedaan mazhab adalah semenjak diciptakannya Nabi Adam as. Di mana ketika itu Iblis menolak bersujud kepada Adam as. Yang asalnya adalah karena Iblis mendasarkan perbuatannya dengan akal atau sebuah asumsi untuk melawan nash (perintah) dan lebih memilih hawa nafsunya, ia pun kemudian menentang perintah, plus ditambah karena kesombongannya terhadap asal materi diciptakannya nabi Adam as, yakni tanah liat. Nah, dari akal dan mengesampingkan wahyu itulah, dua golongan mazhab theologi ini memulai alur pemikiran mereka.

Kembali pada permasalahan Qadariyyah dan Mu’tazilah, terlihat jelas bagaiamana pengakuan dari para ulama sendiri tentang adanya hubungan yang cukup erat antar dua golongan mazhab ini. Lantas, sudah dapatkah kita simpulkan keduanya adalah kembar identik?

Makalah yang penulis presentasikan dalam kajian SIT jum’at sore (16/10) kemarin, rupanya dapat memberi stimulus tersendiri untuk sama-sama kami kaji dan dalami tentang dua mazhab ini. Dari berbagai masukan yang ada, salah satunya saudara Mujib yang menambahkan 5 ciri Qadariyyah – mengutip pendapat Imam Asy’ari; pertama, mereka meyakini Allah swt pencipta perbuatan baik, sedangkan setan pencipta perbuatan buruk. Kedua, mereka percaya bahwa Allah swt mampu berkehendak atas sesuatu yang tidak ada, menjadi sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya. Ketiga, mereka juga berkeyakinan bahwa marabahaya dan keberuntungan murni datangnya dari tangan manusia itu sendiri. Dan terakhir, mereka juga tidak percaya Allah memiliki ilustrasi dan sifat.

Dari kelima ciri di atas, ada dua hal – minimal, yang bersepakat dengan apa yang menjadi konsep Mu’tazilah. Yakni, dalam hal Af’al al-‘Ibad – manusia menciptakan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Allah, dan yang kedua penafian sifat-sifat bagi Allah – termasuk ilustrasi.

Kemudian atas dasar inilah – pengakuan para ulama dan beberapa poin kesepakatan dalam konsep dan pemikiran dua golongan ini – yang pada akhirnya menarik perhatian penulis untuk mengangkat wacana ini. Dan yang paling penting adalah, persamaan world view, atau cara pandang dua mazhab ini yang sama-sama menggunakan akal di atas supremasi wahyu. Dan inilah salah satunya yang kemudian membuat kedua mazhab ini berhubungan erat. Sampai-sampai ada beberapa ulama yang menyandingkan dua mazhab ini. Dan menariknya dalam kajian SIT kemarin, kami bersepakat untuk memberi tanda titik dalam makalah ini.

Selanjutnya nampak semakin jelas, apa yang kemudian menjadi dasar Imam Asy’ari menyebut dan membahas dua golongan ini cukup dalam satu bab saja. Ya, hal ini bisa juga menjadi salah satu tambahan bukti bagi penulis untuk memperkuat diskursus yang penulis angkat di sini. Yakni, bahwa dua golongan ini memiliki keterikatan pemikiran, konsep dan world view yang identik. Maka tak heran, bila kemudian banyak ulama yang menyandingkan dua golongan ini. Sebut saja, Imam Ibn Taimiyyah dalam al-Aqidah al-Wasathiyyah beliau. Kemudian juga Syahrasytani dalam al-Milal wa an-Nihal, last but not least Imam Asy’ari dalam al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah.

Namun, perlu kita pahami juga. Meski kedua golongan mazhab teologi ini bersepakat dalam banyak hal, dan juga disebut ulama dalam satu world view pemikiran, tetap saja dua golongan ini berbeda satu dengan lainnya. Qadariyyah adalah Qadariyyah dan Mu’tazilah tetaplah Mu’tazilah. Mengapa penulis pertegas batasan ini? Karena keduanya adalah dua mazhab yang berbeda, khususnya dalam butir-butir hasil pemikiran dan konsep penganutnya. Meskipun, dalam sekup dan bentuk yang lebih luas, keduanya dapat disebut identik dalam konsep dan mainstream pemikirannya. Karenanya, ketika terusik dengan beberapa persamaan di atas, juga ‘dukungan’ para ulama dengan penyebutan identik tersebut, maka cukuplah penulis bilang, Qadariyyah dan Mu’tazilah itu kembar identik. Wallahu a’lam bi ash-showab.

Sabtu, Oktober 18, 2008

Study of Islamic Thought

Alhamduillah...

Meski kemaren sempet males-malesan dan pesimis, akhirnya selesai pula acara kajian SIT (Study of Islamic Thought) Jum'at (16/10) sore itu. Bukan apa-apa, sebenernya kemaren aku udah pengen mengundurkan diri dari kajian ini. Bukan kenapa, tapi karena dalam kajian ini aku ngerasa gak bisa maksimal. Sebagai contoh, dalam kajian yang mengharuskan pesertanya menuliskan makalah, eh... aku yang udah 2 kali ikut, belum juga bisa memenuhi syarat itu. Meski ada apologi 'karena banyaknya tugas', aku pikir itu gak bisa jadi alasan. Toh, orang-orang yang berkecimpung di sana juga bukan orang sembarangan dan sama-sama aktivis di organisasi lain.

Sebut saja Mujib, atasanku (pemred) di majalah La Tansa - yang ini aku paham bener, gimana ribet dan susahnya ngurusin sidang redaksi, hunting tulisan, editing, lay-outing, printing dan terakhir... marketing *gubraks!! maklum.. aku juga pernah jadi pemred buletin Cakrawala, jadi dikit2 ngerasain gimana-gimana kerja dengan para kru yang notabene seorang mahasiswa, tourist - di mesir, aktivis organisasi, juga orang rumahan..... dan bukan, sekali lagi, bukan kru profesional - dalam artian digaji, lo.. ya - !! Nah, itu baru satu kesibukan, belum kerjaan sebagai koordinator keilmuan di IKPM, Afkar, Ziyadah Buuts, dll.

Ada juga Fadlan, sang koordinator keilmuan di KSW yang beragam acaranya sampai bikin aku, koordinator Media-Net KSW, kewalahan nulis beritanya di web. :D, afwan mas... ammar, banyak berita yang terlewat. Fadlan yang juga aktivis FLP mesir, pemred buletin ar-Raudlah, dll toh masih bisa menyempatkan diri aktif di kajian SIT ini. Bagaimana denganku??



Itulah sedikitnya tiga alasan yang bikin aku 'keder'. Sebenernya ini cuma masalah komitmen, kata Fadlan. Tergantung bagaiamana kita menyikapi kesibukan yang ada. Bisakah kita membagi waktu, untuk sekedar meluangkan waktu sejenak, membaca kitab, menelaah dan kemudian menuliskannya?? Sebenernya ini juga masalah dalam diri sendiri, sambung Mujib. Kalau toh, kita mau dan berjuang berusaha maksimal, mengembalikan kajian SIT ini ke jalurnya, ana yakin kita bisa. Tapi, kalau dari diri kitanya yang gak mau berusaha, maka sampai kapanpun, tak kan pernah ada perubahan ke arah yang lebih baik.

Aku cuma bisa bilang, terima kasih dan maaf. Terima kasih karena temen-temen masih mau mengerti dan ngajak aku untuk berkembang dan maju bersama-sama, khususnya di kajian SIT ini. Dan maaf, karena selama ini, aku sendiri belum bisa berusaha maksimal, menulis makalah dan menelaah kitab. Meski, dalam kajian bisa dibilang aktif dan cukup memberi wacana, tapi aku pikir, syarat utamanya hingga kajian ketiga sore itu masih dibilang belum cukup.

Selanjutnya, yuk sama-sama kita maksimal di kajian SIT!!! Terakhir, meminjam istilah ust. Syukri, TOTALITAS, itulah kunci kesuksesan kita.

Oya, buat temen-temen yang penasaran dengan kajian SIT, silahkan berkunjung ke blognya: www.kajian-sit.co.cc

Diabetesi Boleh Makan Enak Kok!

Jumat, 17 Oktober 2008 | 15:24 WIB

MENGIDAP penyakit diabetes mellitus bukanlah berarti kiamat dalam kehidupan Anda. Meskipun tidak dapat sembuh, penderita diabetes (diabetesi ) sebenarnya tetap dapat menikmati hidup secara normal termasuk mengonsumsi berbagai jenis makanan, kendati harus disesuaikan kebutuhan kalori.

Menurut Prof. Slamet Suryono MD, Ketua Pusat Penelitian Diabetes dan Lemak RSCM/FKUI, dahulu sempat berkembang mitos bahwa hidup dengan penyakit diabetes merupakan suatu penderitaan yang menyiksa.

Penderita biasanya harus menjalani diet ketat dengan pantangan makanan manis. Gula dan bumbu pada makanan juga dihindari, sehingga kerap kali menu untuk diabetesi sering berbeda. Mitos-mitos tersebut, kata Prof Slamet, tidaklah berlaku karena penderita diabetes sebenarnya dapat mengonsumsi makanan apapun, kendati porsinya harus tetap diperhatikan.

"Dulu, ada mitos diabetesi tak boleh makan enak. Harus makan kentang, tak boleh menyentuh gula, makan terpisah dari keluarga. Tidak demikian lagi sekarang, semua dibolehkan tetapi dengan takaran tertentu," ungkap Prof. Slamet.



Pada prinsipnya, lanjut mantan Presiden Federasi Perkumpulan Endokrinologi ASEAN ini, pengidap diabetes dapat hidup normal asalkan mau menjalani empat modalitas utama yang tak dapat dipisahkan. Empat modalitas tersebut adalah mengikuti penyuluhan agar paham dan mandiri mengatasi diabetes, mengatur pola makan, melakukan olahraga teratur dan terapi obat-obatan.

Seorang diabetesi, ujar Prof Slamet, bahkan sebenarnya tidak memerlukan obat-obatan bila ia mampu disiplin memantau kadar gula darahnya dan mengontrol melalui pengaturan makan dan olahraga teratur.

"Obat-obatan itu adalah modalitas yang terakhir. Baru diperlukan bila gagal dengan pengaturan makan dan olahraga. Yang harus diingat pula, obat-obatan tidak untuk menggantikan pengaturan makanan dan olahraga teratur," ujar Prof Slamet.

Ia meyakinkan, bila dilakukan secara disiplin, benar dan teratur, upaya diet dan olahraga saja sebenarnya sudah mampu menurunkan kadar gula darah secara signifikan pada penderita diabetes.

"Pokoknya bila diet dan olahraga dilakukan secara ketat dan baik, gula darah pasien akan menurun dalam dua minggu. Dalam dua pekan sudah kelihatan, lebih lama lagi lebih baik. Jadi yang diperlukan adalah konsistensi," tegasnya.

Dengan terapi obat, gula darah penderita memang dapat diturunkan lebih cepat ketimbang pengaturan makan dan olahraga. Tetapi yang biasanya kemudian terjadi adalah mereka menjadi ketergantungan terhadap obat.

"Memang kalo ingin cepat ya dengan obat, tetapi berarti itu melompat ke modalitas keempat, sedangkan nomor satu dua dan tiganya dilupakan. Yang akan terjadi adalah pasien menjadi dependent terhadap obat. Ini tentu kurang baik," paparnya.

Supaya pengaturan makan dan upaya olahraga menjadi efektif, Prof Slamet memiliki tip-tip yang dapat dilakukan para diabetesi. Berikut adalah tip-tipnya :

- Jaga nafsu makan
- Usahakan porsi tersebar dalam sehari supaya kadar gula darah tidak terlalu berfluktuasi
- Bagilah porsi makanan menjadi 3 porsi besar dan 3 porsi kecil.
- Makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang.
- Teratur dalam jumlah, jenis dan jadwal
- Lebih banyak menu buah-buahan dan sayuran
- Gerak badan atau olahraga secara teratur minimal selama 30 menit 3 atau 4 kali seminggu.
- Pilih olaharga yang sesuai. Jalan kaki atau berenang relatif lebih baik.

AC

Kapan Memutuskan Menikah?

Jumat, 17 Oktober 2008 | 05:38 WIB

PERKAWINAN merupakan komitmen antara dua orang yang tidak boleh disalahgunakan. Pastikan Anda menikah untuk alasan yang tepat, bukan untuk alasan yang salah.

Rasanya tak ada salahnya Anda mengajukan tiga pertanyaan berikut pada diri sendiri sebelum memutuskan naik pelaminan.

1. Apakah Anda berdua saling cocok?
Di dalam sebuah perkawinan, definisi kecocokan agak sedikit berbeda dan artinya lebih dari hanya memiliki kesamaan hobi, gemar makanan yang sama, film dan musik yang sama, dan seterusnya. Cocok di dalam sebuah perkawinan adalah memiliki kemampuan beradaptasi untuk berubah.

Penting diingat, manusia secara tetap berubah dari hari ke hari dan akan terus demikian di dalam perkawinan. Pekerjaan, anak-anak, mertua, merupakan beberapa perubahan yang berlangsung di dalam perkawinan. Kuncinya adalah memiliki pandangan yang sama dan tahu bagaimana mengatasi hubungan Anda berdua bila memiliki pandangan yang berbeda.



2. Apakah Anda berdua saling percaya?
Perkawinan tanpa rasa saling percaya bisa ditebak merupakan perkawinan yang akan berakhir dengan perceraian. Memiliki kepercayaan dari pasangan, merupakan suatu keharusan di dalam suatu hubungan. Bila ada keragu-raguan antara satu dan lainnya, berarti tidak ada rasa percaya. Suatu hubungan tumbuh dari rasa saling percaya dan tidak dapat bertahan tanpa rasa saling percaya.

3. Adakah komunikasi?
Tidak adanya komunikasi dapat menghancurkan suatu hubungan. Komunikasi sangat penting di dalam suatu perkawinan. Orang yang menikah perlu berkomunikasi setiap saat. Berbicara hanya pada saat genting atau tidak berbicara sama sekali, hanya menyakiti hubungan tadi. Tidak adanya komunikasi juga membawa pernikahan kepada perceraian.

Pasangan yang bercerai pada umumnya mengeluh, pasangannya tidak pernah mendengar apa yang mereka katakan atau menghindari percakapan dengan mereka. Komunikasi penting di dalam suatu hubungan. Bila tidak pernah berkomunikasi, bagaimana Anda tahu bahwa Anda saling cocok dan saling percaya satu sama lain?

Nah, bila Anda dan pasangan dapat menjawab ketiga pertanyaan di atas secara jujur dan saling memberikan jawaban yang memuaskan satu sama lain, mungkin perkawinan merupakan ide yang baik bagi Anda berdua. Namun, bila salah satu faktor di atas tidak ada, menikah merupakan ide yang kurang tepat. Perkawinan antara dua orang manusia harus berlangsung hanya bila memiliki ketiga faktor di atas.

Sumber: Dok. NOVA dan www.kompas.com